Langsung ke konten utama

WANI RABI KUDU WANI NGALAH ( Sebuah Renungan)


WANI RABI KUDU WANI NGALAH
( Sebuah Renungan)

Oleh: Ahmad Sugianto Ragil, M.Pd.I

        Tingkat perceraian dikabupaten Tulungagung ternyata semakin tinggi, ini dapat dilihat dari data Pengadilan Agama kabupaten Tulungagung yang dikabarkan surat kabar Kompas, bahwasanya menurut surat kabar ini tingkat perceraian tiap tahun semakin memprihatinkan. Masih menurut Kompas, bahwa diakhir tahun 2019 Pengadilan Agama Tulungagung telah menerima berkas sebanyak 3.455. dari jumlah tersebut yang masuk ke meja hijau sejumlah 3.099 kasus, sisanya sekitar 400 kasus ditolak pengadilan sebab mungkin karena kurang lengkapnya berkas atau yang mengajukan mencabut berkasnya kembali atau pula karena pengadilan dapat memediasi kedua belah pihak sehingga mereka rujuk kembali.
        Jumlah ini tentu jumlah yang tidak sedikit, bahkan jika dibanding dengan data perceraian pada tahun 2018 hanya sebanyak 2.077 kasus. Jadi dalam satu tahun kasus perceraian di kabupaten Tulungagung meningkat kurang lebih 1000 kasus, dan dengan demikian terdapat 3000 orang lebih yang menjadi janda dan duda. Yang lebih mencengangkan lagi dan membuat dahi mengkerut adalah adanya fakta bahwa dari 3.099 kasus sebanyak 2.144 kasus itu didominasi oleh kasus gugat cerai ( permohonan cerai dari pihak istri ) dan sisanya adalah kasus cerai talak ( permohonan cerai dari pihak suami ). Dengan kata lain tren perceraian di kabupaten Tulungagung pada tahun 2019 didominasi oleh pengajuan istri ingin bercerai, bahkan jumlahnya berlipat-lipat banyaknya dari pengajuan suami yang ingin menceraikan istrinya.
        Faktor ekonomi masih menempati renking pertama penyebab perceraian. Tingginya jumlah TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) dan TKW ( Tenaga Kerja Wanita ) keluar negeri penyebab yang paling utama dalam penelitian yang dilakukan LSM, sedangkan faktor lainnya seperti adanya WIL ( Wanita Idaman Lain ) atau PIL ( Pria Idaman Lain ), ketidak cocokan dan pertengkaran menempati urutan selanjutnya dari penyebab perceraian.

Renungan…
        Pitutur Jawa yang berbunyi “ Wani Rabi Kudu Wani Ngalah “ patut kita renungkan. Jika kita rasa, ungkapan kalimat ini  sekilas aneh, karena kalimat berani, digandeng dengan kalimat mengalah. Petuah Jawa ini sekilas memberi makna orang yang sudah berani menikah harus berani atau mau juga untuk mengalah, mengalah bukan berarti untuk dikalahkan dan untuk kalah, tetapi mengalah demi kebaikan. Sekilas ilustrasi yang penulis certitakan berikut ini akan memberikan jawaban betapa pitutur Jawa di atas sangat bermanfaat untuk kita jadikan ibrah bersama-sama.            
        Alkisah terdapat sepasang muda mudi yang merajut kasih dan serius  untuk menikah. Pacaran yang memakan waktu selama empat tahun lebih dimulai dari awal perkuliyahan mereka hingga selasai sarjana strata I dirasa adalah waktu yang cukup untuk mereka berdua saling mengenal dan memahami karakter  masing-masing. Seiring dengan berjalanya waktu, mereka memperkenalkan calon mereka kepada ayah dan ibunya masing-masing. Sebagai orang tua melihat anaknya sudah mempunyai pilihan untuk pasangan hidupnya maka hanya bisa “ tutwuri handayani “ saja, dan dalam istilah jawa dipribahasakan dengan istilah “ kebo nyusu gudel “ orang tua mengikuti kehendak anak dan merestuinya, begitulah kira-kira makna biasnya. Pada hari dan tanggal yang telah ditentukan dan direncanakan diselenggarakanlah  perhelatan pesta pernikahan itu. Resepsi yang bisa dikatakan mewah dan meriah dengan biaya yang tidak sedikit dikeluarkan oleh orang tua untuk semata-mata menuruti dan mensyukuri karena anaknya telah menemukan jodohnya.
        Pada malam yang telah ditulis di buku catatan nikah Kantor Urusan Agama setempat maka dilaksanakanlah akad nikah. Ijab qobul berlangsung dengan khidmah dirumah mempelai putri. Setelah akad nikah malam tersebut maka besok sorenya dilaksanakan perhelatan pesta pernikahan dirumah mempelai putri dengan sangat meriyah, menghadirkan tamu undagan, teman, tetangga sanak saudara dan handai tolan.
        Perhelatan pesta pernikahan penuh dengan suka cita diselenggarakan, selang berganti waktu sore pestapun usai dengan menyisakan setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan. Silih berganti para hadirin dan semua undangan mohon pamit untuk pulang, tidak ketinggalan pula para sanak saudara yang membantu bot repot nya pekerjaan minta diri untuk kembali kerumah masing-masing, para tetangga yang ikut rewang juga pamit, tinggalah dirumah yang besar itu orang tua dan sepasang temanten baru. Setelah semua pesta acara usai tidak kemudian selesai semuanya, ternyata ada saja tamu yang datang untuk memberikan restu dan do’a. Sudah dapat dibayangkan bagaimana sibuknya penghuni rumah itu, mereka harus melayani tamu sendirian tanpa ada saudara dan tetangga yang membantu, lelah, capek,..sudah barang tentu. Hal ini berlangsung hingga waktu malam hari sampai para tamu berpamitan untuk undur diri pulang.
        Kesibukan yang begitu padat hingga menguras tenaga waktu dan fikiran menjadikan badan terasa begitu lelah telah terbayarkan dengan usainya seluruh rangkaian acara sesuai dengan rencana. Karena berhari – hari belum bisa istirahat dengan tenang sebab bergulat dengan seluruh kesibukan, malam itu ayah dan ibu temanten baru tersebut berpamitan kepada anak perempuanya untuk segera istirahat sembari berkata ; “ bapak ibu akan istirahat lebih dulu, sudah sangat capek, masih banyak barang berharga yang ada diluar, sepada motor, kotak uang nanti masukkan kedalam rumah …” ucap ayah kepada anak perempuanya.
        Siti adalah nama temanten baru itu, tanpa menjawab dan tidak juga menanggapi perkataan ayahnya lalu masuk dalam kamar, entah apa yang dilakukan ia dikamar, membersihkan make up, mungkin…pada saat yang sama, suami baru Siti yaitu temanten pria yang belakangan diketahui bernama Prapto masih duduk dikursi ruang tamu sendirian, tak lama berselang Siti keluar kamar, sambil tangannya sibuk membersihkan wajahnya dari sisa-sisa make up rias manten berkata kepada Prapto; “mas… saya masih sibuk, ayah ibu sudah tidur duluan, sepeda motor dan kotak uang tadi suruh masukkan dalam rumah. “ sembari berkata demikian ia kembali kedalam kamar. Prapto mendengar perkataan siti yang bernada perintah itu tidak menjawab, hatinya berkata; “mengapa juga tadi ndak dimasukkan dulu, mengapa malah menyuruh aku, tidakkah mereka tau aku ini orang baru dirumah ini, aku juga capek, seharian belum makan, tidak ada yang menawari makan, istriku sibuk dengan urusanya sendiri, aku tidak diperhatikan sama sekali, tidakkah ia tahu kalau aku belum makan dari tadi,…ah…rasanya orang asing dirumah ini, hmm…
        Belum selesai dengan pergulatan suasana hati, istrinya berkata setengah berteriak dari dalam kamar, “ mas… mengapa belum juga dimasukkan to kotak duwit dan sepeda motornya…?”  Mendengar suara bernada kasar itu Prapto merasa panas dan bertambah panas saja suasana hatinya, rasa ingan ngomong yang sudah ditahan dari tadi akhirnya keluar juga karena tidak tahan dengan keadaan yang terjadi, ia berkata dengan nada setengah marah, “ masukkan saja sendiri, aku lelah dan capek,..” mendengar jawaban suaminya itu Siti menimpali dengan nada marah juga, jane lo,…wong hanya nglebokne kotak duwit dan sepeda, apa beratnya to,…pokoknya aku ndak mau tahu, kotak duwit dan motor urusanmu dan tanggung jawabmu untuk memasukkan kedalam rumah mas…” imbuh Siti dari dalam kamar sembari keluar melihat ke arah suaminya dengan wajah marah. Prapto pun akhirnya sudah ndak mampu menahan emosinya, dengan nada tinggi sambil berdiri ia menjawab dengan kata-kata kasar; “ aku heran sama kamu, istri model apa to sebenarya kamu itu, apakah kamu tidak tahu jika aku ini juga capek, dari siang hingga malam belum istirahat, makan pun belum kau diamkan saja,..aku juga lapar, seharusnya kamu ngerti aku ini orang baru dirumah ini, tidak mungkin aku akan amabil makan sendiri, bukanya kamu nawari makan atau apa, malah nyuruh-nyuruh segala, emangnya aku ini suamimu apa bukan to…??” Tanya Prapto pada istrinya, walaupun sebenarnya pertanyaan itu bukan untuk dijawab.
        Siti mendengar suaminya marah dengan bicara nada tinggi dan kasar itu bukanya menyadari dan meminta maaf agar suasana kembali kondusif, tetapi malah ikut terbawa suasana yang panas tersebut, akirnya Siti berkata juga dengan nada membentak dan kasar; “ masa bodoh, ndak mau ya sudah aku mau tidur…” Setelah berkata demikian Siti kekamar dan menutup pintu kamar dengan kasar. Brakkk… suara pintu dibanting, Siti merebahkan badanya diatas kasur, hatinya berkata; “paling nanti juga dimasukkan juga kotak duwit dan sepedanya oleh mas Prapto…” karena kelelahan akirnya Siti tertidur pulas.
         Begitulah akhirnya kedua pasangan temanten baru itu tidak jadi tidur satu kamar, Siti tidur di dalam kamar sendirian dan Prapto karena juga kelelahan tidur di sofa ruang tamu. Mereka berdua tidak ada yang mau mengalah, tiga kotak duwit dan dua sepeda motor masih berada halaman rumah .
        Banyaknya pekerjaan berhari-hari yang telah dikerjakan menjadikan tidur seluruh penghuni rumah itu seperti orang mati, sehingga saat ada sebuah mobil pike up datang penghuni rumah itu tidak ada yang tahu, ada beberapa tetangga yang mengetahui beberapa orang keluar dari mobil itu untuk menaikkan sepeda motor dan kotak duwit keatas mobil, tapi para tetangga itu tidak menaruh curiga sedikitpun, mereka berprasangka bila yang datang itu mungkin para pekerja yang akan membongkar terop atau dekor atau juga sound sistem. Setelah menaikkan sepeda motor dan kotak duwit serta barang-barang lain yang tidak diketahui secara jelas apa yang diambil kemudian mobil itupun pergi.
        Waktu malam berjalan terasa begitu cepat, menjelang pagi terdengar sholla – sholla tarhim dari masjid terdekat seperti menjadi alarm bagi orang tua pengantin baru itu, ayah bergegas keluar kamar sambil membetulkan sarungnya yang kendor hamper mlorot. Sang ibu bergegas ke dapur menyalakan kompor dan aktifitas sigek – sigek barang-barang yang masih banyak berserakan. Tanpa menaruh curiga sedikitpun sang ayah berhusnudzan bahwa pesannya tadi malam pada Siti sebelum tidur sudah dilaksanakan, ia positif tingking bila sepeda dan kotak uang sudah dimasukkan ke dalam rumah. Hanya sekedar memastikan, ayah melangkah mondar mandir kedalam dan keluar rumah, ia tidak mendapati sepeda motor, dalam hati bertanya-tanya, dimana kiranya Siti memarkir sepeda motornya ya….??!! Tanyanya dalam hati, sambil pandangannya menyapu ke seluruh sudut rumah dan pekarangan. Hati masih juga yakin bila tiga kotak uang dimasukkan dalam kamar sehingga tidak perlu lagi dikawatirkan.
        Agak terkejut sang ayah melihat pengantin pria tidur di sofa ruang tamu. Pikirnya berkata seraya menebak apa yang sedang terjadi, ia belum curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya. Pikirnya berkata; “mungkin tadi malam ada teman Siti yang datang dan malam ini bermalam dikamar bersamanya, maka pantas saja manten pria tidur disofa ruang tamu .“
        Setelah mondar mandir kesana kemari tidak menemukan apa yang dicari, ayah itupun  mendekati kamar Siti, “ tok..tok..tok,suara lirih terdengar dengan diiringi panggilan, Siti…siti…bangun,…” panggilan itu diulanginya hingga tiga kali dan yang terakir agak lebih keras hingga siti terbangun dan membuka pintu kamarnya,…” ada apa yah,..” tanya Siti. Ayah tidak menjawab, tapi pandangannya menyapu seluruh isi kamar, wajah ayah berubah kawatir dan kaget tatkala isi kamar siti ternyata hanya barang-barang dan tidak ditemukan orang lain di kamar, tidak diketahui pula kotak uang yang disangkanya ada dikamar Siti. Perubahan wajah ayahnya membuat Siti penasaran dan ia pun bertanya kepada ayahnya yang kedua kalinya ;
“ada apa yah…?”
anu…sepeda motor dan kotak uangnya  kamu taruh dimana tadi malam…?? ayah cari di mana-mana kok ndak ketemu…??” trus suamimu kok tidur di sofa ruang tamu, tidak tidur dikamar, enek opo …?? Tanya ayah penuh dengan rasa ingin tahu.
        Dengan raut muka yang masam dan dengan nada yang kelam Siti menjawab ; “ tadi malam aku tidur duluan, sepeda, kotak uang tak suruh masukkan mas Prapto…”
“tapi diletakkan dimana… nyatanya tak cari dimana-mana ndak ketemu,..” imbuh ayahnya penuh dengan tanda tanya. Raut wajah ayah mulai berubah pucat dan cemas…” sanue dibawa maling to ti…” kata ayahnya menduga-duga, “coba tanyakan pada suamimu, sudah ayah cari dimana-man ndak ketemu lo…”
        Akhirnya Siti dengan jengkel melangkah ke ruang tamu mendekati suaminya yang sedang tidur sangat pulas tanpa bantal dan selimut, karena kecapean mungkin. Dengan kasar Siti menarik-narik dan menggoyang-goyang tubuh suaminya, dengan kasar pula ia berkata; “ bangun…bangun mas…” agaknya Prapto terkejut dengan cara membangunkanya Siti, terasa pening dikepala karena kaget, belum sempat Prapto mengembalikan kestabilan tubuh dan ingatannya Siti bertanya kasar padanya; ” dimana kamu masukkan sepeda motor dan kotak duwitnya semalam…”
“ tidak tahu…aku tidak memasukkanya…” jawab Prapto dengan kasar pula.
” lalu dimana…?” dicuri maling berarti…ini karena salah mas…memasukkan motor dan kotak duwit aja ndak mau…siapa yang bertanggung jawab kalau sudah begini ini…”
Ibu mendengar ribut-ribut di depan tergopoh-gopoh setengah berlari menghampiri mereka, ada apa ini yah kok ribut-ribut, malu didengar tetangga.
        Pada saat yang sama, kalimat ejekan dan kata-kata kasar terus saja keluar dari mulut Siti tanpa dapat dikontrol, segala ungkapan sumpah serapah keluar dari mulutnya,caci maki tak henti-hentiya ia lemparkan, semua keburukan suaminya ia ungkapkan di hadapan ayah dan ibunya. Mendengar semua itu Prapto tidak bias menahan diri lagi, seketika ia berdiri, dengan muka penuh kemarahan. Ia pun lantas membalas caci makian istrinya; ”.. asal tahu saja ya, aku sudah muak dengan semua ini, aku dirumah ini tidak dihargai sama sekali, istiriku yang aku bayangkan orangnya baik, lemah lembut seperti yang aku lihat saat pacaran dulu, ternyata sekarang baru tahu aslinya, masih temanten baru saja sikapmu padaku sudah demikian jeleknya,…apa lagi kita sudah lama berumah tangga besok, apakah aku akan kamu jadikan seorang pembantu saja…” kalimat terus saja keluar dari mulut Prapto tanpa bisa dikontrol lagi, dan pada puncak kemarahanya ia mengucapkan…” percuma kita teruskan pernikahan ini,..lebih baik sekarang kita pisahan saja, sekarang dirimu bukan istriku lagi…sekarang kita cerai….”
        Kalimat talak itu pun akirnya keluar dari mulut Prapto, ayah dan ibu yang menyaksikan itu semua hanya bisa berpandangan mata dan mengelus dada. Hancur sudah hati ayah dan ibu Siti. Bagaimana tidak, pernikahan yang direncanakan selama ini, berbulan-bulan telah putus begitu saja, belum lagi orang tua mereka reda dari segala kerepotan karena pernikahan anaknya ternyata sekarang telah berantakan. Tetangga yang membantu kesibukan karena pernikahan kedua temanten ini pun belum reda rasa capeknya. Belum juga semua barang pinjaman dan sewaan dikembalikan. Sanak family yang jauh masih dalam perjalanan belum nyampek rumah. Semua biaya pesta belum juga dilunasi. Semua hutang belum juga dilunasi karena menangguhkan uang pesangon dari para tamu. Orang tua Siti sangat terpukul melihat kejadian itu, serasa tertimpa gunung meletus, hancur berkeping-keping. Rasa malu, sedih, kecewa, marah dan seluruh kekesalan menumpuk menjadi satu.
        Nasi sudah menjadi bubur, talak telah dijatuhkan, padahal malam pertama belum juga mereka rasakan, berarti status Siti telah tertalak bain sugra, dengan demikian bila kedua pasangan itu ingin rujuk kembali maka harus melalui proses awal yaitu akad nikah baru dan segala persyaratan akad nikah. Asal tahu saja, sebab seorang istri tertalak bain sugro itu diantaranya adalah talak raj’i yang habis masa iddahnya, khulu’ dan talak suami pada istrinya yang belum dikumpuli. Konsekuensi hukum dari talak bain sugra adalah harus adanya akad nikah baru dan segala syarat rukun nikah.
        Sugguh sangat disayangkan, kejadian yang tidak diinginkan sama sekali, hanya karena menuruti ego masing-masing. Andai saja kedua pasangan itu bisa sedikit menahan diri, berbicara dengan kata-kata yang halus, tentu tidak akan terjadi semua itu. Siti, andai ia memulai malam itu dengan memperhatikan suaminya, tidak sibuk dengan urusanya sendiri tentu suasana akan berubah, andai saja ia menyuruh suaminya memasukkan motor dan kotak uang ia gunakan kalimat minta tolong dengan kata-kata yang halus, tentu suaminya tidak akan tersinggung. Dan sebaliknya, andai saja Prapto bisa sedikit bersabar dengan prilaku istrinya, menyempatkan waktu dan tenaganya sedikit untuk mau memasukkan motor dan kotak uang tentu ia akan tidur di kamar temanten baru dan malam pertama bersama istrinya tercinta.
        Andai bisa mengembalikan waktu, tentu kedua pasangan itu akan merubah sikap dan ucapanya sehingga tidak terjadi hal yang sedemikian runyamnya. Bila mana saja Siti tadi malam berkata-kata dengan lemah lembut pada suaminya, menyisihkan sedikit waktunya untuk ngladeni suaminya, mengenyampingkan kerepotan dirinya dan menyibukkan dirinya untuk memperhatikan suaminya, mungkin hanya sekedar menemani suaminya makan, ia tunggui, ia temani, setelah selesai dan suami merasa nyaman baru ia ngomong minta tolong untuk membantu memasukkan motor dan kotak uang tentu suaminya akan dengan senang hati membantu, bahkan akan ia kerjakan sendiri tanpa dibantu istrinya.
        Nasi sudah menjadi bubur, kata-kata yang sudah terlanjur terucap tidak akan bisa ditarik lagi, dan andai Prapto, suami Siti tidak ngotot dengan egonya sendiri, mau mengalah walau dengan berat hati mau membantu istrinya, tentu tidak akan terjadi kehilangan dua sepeda motor dan tiga kotak uang yang bahkan isinya belum sempat dihitung. Lagi-lagi hanya bisa mengatakan, nasi sudah menjadi bubur, semua itu karena diantara mereka tidak ada yang mau mengalah, hanya mau menang sendiri, maunya dihormati, maunya diperhatikan, maunya didahulukan, sedangkan dirinya sendiri tidak mau untuk sedikit saja mengalah, tidak mau memahami perasaan dan keadaan pasangannya.
        Demikianlah gambaran betapa membangun rumah tangga, merajut mahligai bahagia dalam pernikahan itu tidak semudah dan segampang yang dibayangkan. Butuh keberanian untuk mengenyampingkan kepentingan dan ego pribadi. Butuh keberanian untuk mengalah, mengalah bukan untuk kalah dan dikalahkan, tapi mengalah demi kebaikan, kemaslahatan dan keberlanjutan ikatan pernikahan. Sungguh mengalah yang demikan adalah sebuah kemuliaan. Maka bila mau memikirkan secara dalam-dalam benar apa yang menjadi petuah para sesepuhwani rabi kudu wani ngalah “ berani menikah berani juga untuk mengalah.

*) Penulis adalah Guru PAI di SMA Islam Sunan Gunung Jati Pondok Ngunut.



Komentar

  1. Dibuatkan versi videonya bagus juga pak.... Dibikin semacam story telling bisa lebih mengena dengan penekanan2 khusus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah. Terima kasih atas saran panjenengan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pameran Kreasi Seni Siswa SMA Islam Sunan Gunung Jati

LDS adalah salah satu wadah pengembangan bakat siswa dalam hal kedisiplinan di lingkungan sekolah. mereka ditempa untuk menjadi seorang siswa yang mampu menjaga dan menciptakan suasana yang penih kedisiplinan dilingkungan SMA Islam Sunan Gnung Jati

PUISI : Dia tak peduli

                                                                      Dia tak peduli  Oleh : Andre S Lesmana  12 IIS 2 Santri Asal Sumatera Nanti d ia semakin merajalela    Tak peduli dengan sekitarnya   Tak peduli dengan sampah negara yang berkembang   Mentari semakin pudar kehilangan sinar kebebasannya Orang-orang saling membunuh perasaan Tak   peduli yang ditindihkan Tak peduli yang di bawah   Aku melihat dia tersiksa mana keadilan yang katanya akan diratakan   Bumi berontak menghancurkan segala yang di atasnya Bukannya aku tak mau Aku tak bisa bergerak Ranta-rantai uang terus membelengguku   Dia seakan tak peduli dengan yang di bawah Tapi . . . Nanti air ...