Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan, S.Ag
Bagi santri sesungguhnya menulis merupakan rutinitas harian. Setiap hari santri pasti menulis. Ini tampak melalui kegiatan pengajian kitab kuning. Menulis ala santri yakni berupa memaknai kitab. Kegiatan memaknai kitab dengan huruf pegon ini bahkan sudah menjadi tradisi dan kekhasan pembelajaran di pondok pesantren.
Bisa menulis pegon menjadi alat dasar bagi santri untuk menangkap pengetahuan dari ustaznya. Melalui catatan makna gandul tersebut, transfer pengetahuan dapat terekam dan tersalurkan lintas generasi. Benar bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Ilmu-ilmu ulama terdahulu dapat dipelajari para santri hingga sekarang karena dituliskan dalam bentuk kitab. Seperti karya Imam Ghozali yang masih abadi dan terus dikaji hingga saat ini, meski beliau sudah wafat beratus-ratus tahun yang lalu.
Menulis sudah menjadi makanan pokok harian santri. Bila santri tidak bisa menulis pegon, ia akan kesulitan untuk memaknai kitabnya. Bagi santri, belajar atau ngaji diibaratkan seperti sedang berburu. Apabila ilmu yang diibaratkan binatang buruan itu tidak diikat dengan tulisan sebagai talinya, akan mudah lepas. Tanpa adanya tulisan berupa makna pegon, perburuan menjadi sia-sia karena tidak mendapatkan apa-apa.
Ibarat masyhur lainnya, santri adalah cangkir sedang ustaz sebagai teko yang menuangkan ilmu berupa air. Cangkir haruslah tertata dengan baik yakni tidak tertutup atau terbalik, sebagai tanda santri siap dan terbuka menerima ilmu. Juga letak cangkir harus di bawah teko, menunjukkan sikap kerendahan hati seorang murid. Sehingga air akan mudah mengalir dari atas ke bawah yang bermakna ilmu mudah diterima. Sedang sebagai teko, ustaz harus mengisinya dengan air yang bersih. Sebab apa yang dikeluarkan dari teko menunjukkan isinya. Bila ucapan dan perilakunya baik, maka pikiran dan hatinya bersih. Teko yang demikian adalah uswatun hasanah.
Sayangnya ibarat cangkir dan teko di atas, pada satu sisi menunjukkan sebuah kemandekan proses berfikir. Seorang santri yang diibaratkan cangkir tampak hanya bisa menampung pengetahuan. Ustaz membacakan kitab, santri memaknai kitabnya. Sering kali banyak yang lebih mengejar khatam daripada paham, lebih-lebih ketika waktu pengajian kilatan.
Dengan demikian, proses menulis atau memaknai santri selama ini banyak yang masih pasif. Jadilah santri penimbun ilmu. Semua ilmu yang didapatkan selama ia mondok, banyak yang hanya berhenti di kitab.
Memang tidak ada salahnya menjadi penulis pasif. Usaha mencatat sebuah ilmu, lebih-lebih menembel kitabnya ketika dijumpai ada yang bolong maknanya, tetap harus diapresiasi. Namun pembelajaran sejati adalah perubahan kearah yang lebih baik. Maka dari itu, santri terbuka pilihan baru untuk dilakukan, yakni menjadi penulis aktif.
Penulis aktif bukan lagi sekadar menjadi penampung ilmu. Penulis aktif adalah pengolah ilmu. Ibarat yang cocok yakni santri menjadi seperti tanaman. Ketika ustaz menyiramkan air atau mentrasfer ilmunya, tanaman mengolahnya untuk tumbuh dan berkembang. Apakah air tersebut untuk memperkuat akar, memunculkan daun, bunga, dan buah. Dari sini terlihat jelas kebermanfaatan air tersebut.
Menjadi penulis aktif akan melatih santri berpikir kritis. Ada upaya untuk mengkaitkan apa yang tertulis di teks kitab dengan konteks kejadian dalam kehidupannya. Selain itu juga, penulis aktif mampu menafsirkan kembali teks menjadi sebuah pemahaman baru. Santri bisa menengok upaya demikian itu dari adanya kitab syarahan (komentar, tambahan penjelasan), seperti kitab Ibnu Aqil yang merupakan syarah dari kitab Alfiyah ibn Malik. Kitab Sirojut tholibin Syekh Ihsan Jampes yang merupakan syarah dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghozali.
Tradisi mensyarah kitab tersebut merupakan uswah bagi santri untuk menjadi penulis aktif. Untuk mewujudkan uswah yang luhur demikian itu tentu harus melalui proses dan latihan yang tidak instan. Bagi santri yang baru belajar menulis (mengarang) tidak mungkin sekali menulis, langsung bagus hasilnya. Bagus tidaknya tulisan itu dihasilkan dari banyak latihan menulis dan banyak pula membaca buku-buku berkualitas.
Apabila santri mampu menjadi penulis aktif, maka terwujudlah kemandirian belajar. Proses belajar selama mondok dijalani dengan senang hati tanpa keterpaksaan. Karena santri sadar bahwa seorang pembelajar sejati bukan mereka yang kitabnya selalu penuh makna, bukan pula yang setelah khatam kitab tidak mau mengulangi mengaji lagi. Pembelajar sejati adalah yang terus belajar dan mengamalkan ilmunya sepanjang hayat. Melalui menulis aktif, ilmu semakin bermanfaat. WaAllahu a'lam.
*) Penulis adalah staf tata usaha di SMA Islam Sunan Gunung Jati Pondok Ngunut
Tulisan yang menarik
BalasHapusSangat menginspirasi..
BalasHapusTerima kasih
BalasHapusSGJ keren
BalasHapus