Muridku
Oleh : Moh. Ghufron, S.Pd.I
Menjadi murid itu harus siap diperintah guru, siap tawadhu’ pada guru. Bukan soal siapa gurunya, bukan pula karena aku mulia, atau ingin dimulyakan, kalau guru kok pengen dimulyakan manusia, maka do’anya tak akan diijabah oleh Alloh, dan tinggalkan guru seperti itu.
Nah, murid itu punya keharusan tawadhu’ dan mengikuti taat kepada guru adalah demi murid itu sendiri, karena ilmu yang dititipkan Alloh kepada guru, akan mengalir kepada murid, jika hati murid terbuka, dan guru senang, seperti aliran air yang terbuka, dan murid menerima alirannya, karena menyenangkan guru.
Jika murid tak taat kepada guru, maka dibutuhkan waktu seratus tahun juga belum tentu ilmu guru akan mengalir pada murid, karena pintu-pintu ilmu tak dibuka oleh Alloh, sebab tidak adanya keta’atan dan ketawadhu’an murid kepada guru tadi.
Jadi yang memberikan ilmu itu bukan guru, tapi Alloh, lewat seorang guru.
Ilmu itu berhubungan dengan hati dan seluk beluknya, seorang sekalipun tak menjalankan amalan puasa, dzikir, tapi amat ta’at pada guru, maka ilmu juga dituangkan oleh Alloh, kepada murid itu, jadi keta’atan murid pada guru itu mutlak dibutuhkan.
Tau Imam Ghozali, Imam Ghozali itu mempunyai adik, yang tak mau sholat berjama’ah menjadi makmumnya, ya Imam Ghozali malu, karena dia seorang imam besar, kok adiknya sendiri tak mau menjadi makmumnya, lalu Imam Ghozali meminta ibunya supaya membujuk adiknya agar mau menjadi makmumnya, maka ibunya pun membujuk adiknya, dan adiknya pun mau menjadi makmumnya, tapi di tengah sholat adiknya malah mufaroqoh, memisahkan diri dari sholat berjama’ah, ya jelas makin membuat Imam Ghozali makin malu, lalu menanyakan kepada adiknya kenapa kok mufaroqoh. Adiknya menjawab, karena di hati Imam Ghozali dipenuhi nanah dan darah, tak ada sama sekali cahaya ilahiyah.
Imam Ghozali kaget, kok adiknya bisa tau soal hati, dia bertanya kepada adiknya, ilmu seperti itu belajar kepada kyai siapa? Dijawab adiknya, ilmu itu belajar dari kyai kampung.
Maka Imam Ghozali pun ingin berguru kepada kyai kampung itu. Sesampai di tempat kyai kampung itu dia mengutarakan maksudnya berguru. tapi sama kyai kampung itu ditegaskan kalau Imam Ghozali tak akan kuat berguru kepadanya,. Imam Ghozali ngotot dan mengatakan kuat apapun syaratnya. Kyai kampung mengatakan syaratnya tak banyak, hanya satu, yaitu taat dan tunduk kepada perintah guru, sami’na wa ato’na. Mendengar dan menta’ati.
Imam Ghozali menyatakan sanggup dan siap menerima perintah.
Lalu kyai kampung itu memerintah pada Imam Ghozali untuk menyapu jalan, Imam Ghozali pun siap, dan mengambil sapu.
Kata imam kampung, "siapa yang menyuruhmu menyapu jalan dengan sapu, aku meyuruhmu menyapu jalan dengan jubah kebesaranmu".
Imam Ghozali karena keinginan kuatnya menjadi murid, dia melepas jubah kebesarannya lalu menyapu jalan dengan jubahnya, menghilangkan kehormatannya dan ego-nya sebagai seorang imam, lalu menyapu jalanan dan membersihkannya, dengan jubahnya.
Baru berjalan beberapa meter, "sudah cukup", kata kyai kampung, kamu sudah cukup menjadi muridku, dan menyerap semua ilmuku, sekarang kamu pulang, maka Imam Ghozali pulang dan kemudian menemukan rahasia-rahasia hati dan mengarang kitab ihya’.
Tak beda dengan kisah Nabi Khaidir dan Nabi Musa dalam Al-Qur'an. Keta’atan murid kepada guru itu mutlak dan syarat utama yg dibutuhkan seorang murid kepada gurunya.
Meski sekalipun dalam lahirnya kedudukan murid anak presiden atau kaisar, dan gurunya seorang pengemis yang rumah saja tak punya, maka jika ilmu ingin didapat harus taat pada guru, jika tidak taat maka jangan harap seribu tahun akan mendapat ilmu, sebab Allah Swt menutup sumber-sumber ilmu itu.
la ilma lana illa ma alamtana, jadi semua ilmu ilahiyah itu dari Allah Swt.
Seorang guru itu seperti orang yang pernah melewati jalan, dan seorang murid akan melewati jalan yang sama, dan guru yang pernah melewati jalan itu lalu memberi petunjuk, agar murid tak salah jalan.
Terima kasih ilmunya ustadz, semoga murid - murid bisa sami'na wa atha' na
BalasHapus