Oleh: Bambang Sudarmaji, M.Pd.I
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ
السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ
الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً
لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ
وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ أَيُّهاَ
اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Marilah kita tingkatkan kualitas ketakwaan kita kepada
Allah subhanahu wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap
berserah diri kepada-Nya.
Hadirin jamaah jumat yang diberkahi
Alloh
Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun
dalam realitas kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil
dihindari. Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam,
sehat dan sakit, hidup dan mati, aman dan tak aman, dan sebagainya. Firman
Alloh SWT:
وَمِنْ كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariat[51]:
49). Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi
tersebut ada Dzat Tunggal yang perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah
satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.
Bersamaan dengan datangnya tahun baru 1442 hijriyyah,
Indonesia mengalami berbagai musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah
longsor, kecelakaan, guncangan atas nilai-nilai pancasila, virus corona yang tidak
kunjung sirna dan yang lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah
mengembalikan semuanya kepada Yang Maha Memiliki yaitu Allah subahanhu
wata’ala. Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah, maka Allah berhak mau
menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan,
manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah
(introspeksi), apakah musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian,
peringatan, atau yang lain. Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga
amanah alam ini. Allah berfirman:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(QS. Ar-rum[30]:
41). Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah
manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan. Kemaksiatan di sini
tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram” yang biasa
kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya.
Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan
juga bisa berupa dosa yang berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala
bentuk perbuatan merusak alam adalah kemaksiatan. Karena dengan merusak alam
secara tidak langsung telah mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan
menyebabkan masalah pada hari ini dan masa-masa yang akan datang. Tanah longsor
terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara brutal. Banjir datang
karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan, sungai-sungai menyempit karena
bangunan pemukiman yg sembrono, area resapan air berkurang drastis akibat kian
meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.
Jamaah Jumat
yang dimulyakan Alloh
Orang yang berilmu dan beriman akan menjadikan musibah
sebagai momentum meningkatkan kebaikan. Baik kebaikan itu tertuju kepada Allah
maupun kepada makhluk itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki
baginya kebaikan maka Allah akan memberikan musibah/cobaan” (HR Bukhari).
Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk
berdzikir dan muhasabah diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif
terutama dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah
subhanahu wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan
antar sesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan
sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap
diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan
tenteram.
Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan
meraih kebaikan tersebut. Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah
(rasa cinta). Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran
dalam menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.
Sabda nabi SAW yang artinya: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin dari kelelahan, penyakit,
kesusahan, kesedihan, hingga duri yang menusuk tubuhnya, kecuali Allah
menghapus kesalahan-kesalahannya” (HR. Bukhari). Yang ditekankan dalam
konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya.
Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat
sang pemberi musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada
akhirnya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan
kenikmatan di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa
memberikan yang terbaik untuk makhluk-Nya. Semoga kita semua senantiasa
dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi segala musibah sebagai sarana
peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya musibah berbekas kebahagiaan
baik untuk dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.
Komentar
Posting Komentar