Oleh : Febrita Ardianingsih, S.IIP
Perkembangan teknologi informasi di era revolusi informasi
makin memasyarakat dan keberadaan internet menjadi begitu populer. Tak pelak,
era revolusi informasi yang benar-benar masif, telah menyentuh kelompok dan lapisan
sosial masyarakat manapun tanpa bisa dicegah. Saat ini, boleh dibilang bahkan
tidak akan ada satupun dari institusi, orang, atau pemerintahan yang tidak terkena dan tidak
menanggung dampak dari perkembangan teknologi informasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran konvergensi media
bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan
yang makin terbuka kepada khalayak untuk memilih informasi. Berbagai media
massa dan teknologi informasi tergabung dalam satu paket perangkat gadget yang memudahkan pemiliknya
berinteraksi dan mengakses berbagai informasi. Perkembangan media massa yang
makin mengekspos informasi luar biasa beragam ke publik, telah membuka wawasan
masyarakat dari informasi yang serba tunggal seperti era orde baru.
Ketika masyarakat informasional telah lahir, maka dunia boleh
dikatakan telah memasuki era masa tanpa waktu. Dimana yang namanya informasi
segera bisa tersedia dan diakses tanpa regulasi dan kerangkeng besi yang bisa
menahan laju dan perkembangan informasi. Masyarakat dapat dengan bebas
berselancar di dunia tanpa batas, mencari informasi apapun dan kapanpun.
Berinteraksi di dunia maya pun menjadi aktivitas yang mengasyikkan dan bebas.
Terlebih, memang cyberspace
benar-benar membuat seolah kita bisa menembus
dunia. Ruang publik kini semakin terbuka dan tanpa batas. Siapapun bisa
menyampaikan pendapat atau aspirasi sosial-politiknya, membangun pendapat umum
dan melontarkan kritik sebagai upaya masyarakat sipil yang madani untuk
melakukan kontrol demokratik terhadap perilaku kelas penguasa.
Terbukanya berbagai akses sumber informasi dan kemudahan
melakukan berbagai interaksi serta penyampaian aspirasi, memunculkan besarnya
jumlah pesan dan informasi yang mengalir terutama di dunia cyber - tentu turut menuntut siapa saja untuk memiliki kemampuan
membedakan antara fakta dan fiksi, antara yang nyata dan yang dikonstruksi.
Kewaspadaan terhadap konsumsi informasi sudah sepatutnya ditingkatkan karena
era revolusi informasi yang di satu sisi mendukung pemenuhan kebutuhan
informasi masyarakat di segala bidang, namun di sisi lain turut melahirkan
berbagai fragmentasi informasi.
Keberadaan dunia cyber
yang merupakan dampak dari konvergensi media merupakan ladang persemaian bagi
kaum jurnalis online, yaitu jurnalis amatir yang dengan bebas memproduksi
beragam informasi tanpa terikat regulasi atau kode etik seperti jurnalis
professional. Di era masyarakat yang familiar dengan teknologi informasi,
sangat memungkinkan bagi siapa saja untuk memproduksi, menyalurkan, dan memberi
feed back terhadap informasi – cukup
dengan meggerakkan kursor komputer atau menyentuh layar iPhone. Tak heran jika
slogan yang sering terdengar di era sekarang ini adalah ‘setiap orang adalah jurnalis’. Masyarakat kini bahkan mengekspresikan
identitas dan pendapat mereka dengan menciptakan informasi.
Patut kita sadari pula bahwa perilaku penelusuran informasi
di era digital juga tak lepas dari perubahan. Studi membuktikan bahwa
masyarakat cenderung melakukan penelusuran yang nonlinier yaitu tidak membaca
atau melacak informasi halaman per-halaman secara berurutan, tapi melacak
informasi dengan meloncat secara tak beraturan, karena perangkat teknologi
memang memungkinkan untuk melakukan itu.
Dengan demikian, di masa yang seperti ini jarang bahkan mungkin tidak
akan ditemui bentuk narasi tunggal yang utuh. Kemudahan mengakses dan
menyebarluaskan informasi telah membuat narasi tunggal terpecah-pecah –
terfragmentasi ke dalam keragaman dan
banyaknya prespektif.
Di tengah era “kebingungan” seperti sekarang, dimana
informasi mengalir deras dan tak terbatas turut memberi dampak terhadap pola
konsumsi informasi masyarakat menjadi serba instan – tak jarang para politisi
dan orang-orang berpengaruh mengambil kendali terutama untuk membangun citra
diri, membangun wacana publik yang berkaitan dengan politik pencitraan dan
mencari pengaruh.
Pada wilayah politis, ruang publik yang idealnya
mengetengahkan perdebatan produktif dan sarana bagi partai politik untuk
menyerap aspirasi sosial-politik masyarakat, ternyata dalam banyak kasus
berubah menjadi komoditas politik yang dipertukarkan di meja-meja parlemen
untuk menjamin kemenangan voting,
atau menjadi komoditas untuk politik pencitraan bagi para wakil rakyat dan
penguasa. Bagi pelaku bisnis, konvergensi
media dan kemudahan akses informasi merupakan arena tampilan iklan atau media
promosi atas produk-produk yang dihasilkan kekuatan industri budaya. Menciptakan citra atau model yang
menghegemoni dan mendiktekan hasrat
serta selera masyarakat sebagai konsumen yang senantiasa tak pernah terpuaskan.
Ruang publik kini seringkali berubah menjadi objek kekuasaan kelas kapitalis
dan penguasa yang mengintervensi dominasi, manipulasi, dan juga pembiakan
perilaku konsumtif masyarakat.
Ketika para penguasa ingin mempertahankan atau memperebutkan
status quo, dan ketika kekuatan
kapitalisme ingin menguasai selera pasar, maka yang terjadi pada masa revolusi
informasi adalah proses komunikasi informasi yang terdistorsi secara otomatis.
Memunculkan dualisme pola komunikasi informasi – bebas tapi dikendalikan,
independen tapi terkonstruksi. Masyarakat tak ubahnya kaum terhegemoni dan
selalu menjadi target pasar yang mudah dieksploitasi. Anak-anak muda yang
dibesarkan oleh teknologi dan media yang serba canggih mulai menumbuhkan
perilaku dan gaya hidup remaja urban yang serba trendy, hedonis, dan dikendalikan oleh hasrat untuk terus
mengkonsumsi atau membeli produk-produk budaya populer.
Gelombang kemajuan teknologi informasi memang tidak bisa
dihindari. Menarik dan mengisolasi diri dari perkembangan teknologi informasi
jelas tidak mungkin dilakukan karena hanya akan membuat masyarakat menjadi
gaptek dan ketinggalan jaman. Namun persentuhan dengan dunia digital tetap
membutuhkan koridor yang bisa memastikan kita tidak salah arah hingga
terjerumus menjadi korban dunia media terutama dunia media digital.
Literasi media merupakan bekal bagi generasi digital dalam
berhadapan dengan media. Secara garis besar, tujuan literasi media adalah
menumbuhkan kesadaran kritis atas realitas media. Bahwa media sejatinya
bukanlah entitas netral dan akan selalu membawa nilai atau tendensi di bidang
ekonomi, politik, maupun budaya. Literasi media merupakan kemampuan untuk
mengakses, menganalisi, dan mengkomunikasikan informasi yang diperoleh dari
media. Khalayak diharapkan bisa mengontrol dan mendekonstruksi pesan yang
diterima dari media – menyadari tentang cara media dikonstruksi dan diakses.
Semakin media literate,
maka semakin mampu seseorang dalam melihat batas antara dunia nyata dan yang
dikonstruksi. Semakin mampu membangun hidup sesuai yang kita inginkan,
alih-alih membiarkan media membangun hidup sebagaimana yang media inginkan.
Dengan menyadari bahwa perubahan gaya hidup dan masifnya dunia simulasi yang
dimainkan industri budaya merupakan konsenkuensi dari perkembangan teknologi
informasi, maka berbagai upaya untuk mencegah dampak yang kotraproduktif bisa
dikembangkan. Kemampuan multiple
literasi perlu diasah untuk bernegosiasi dengan dunia digital. Dengan
senantiasa bersikap kritis, tidak terhegemoni, dan tetap fokus pada pandangan
bahwa perkembangan teknologi informasi dan kekayaan informasi pada akhirnya
hanya sekedar alat untuk memperkaya alternatif pilihan dalam menghadapi
tantangan kehidupan.
Tugas orang tua dan sekolah adalah senantiasa membantu kaum muda dalam mengembangkan kemampuan memfilter setiap pesan yang disampaikan media, terutama media digital mengingat kaum muda adalah kekuatan utama digital natieves yang banyak “hidup” di dunia maya. Karena di sadari atau tidak, kini dunia maya telah berubah menjadi lautan ganas yang mampu menelan siapapun yang tak mempersiapkan diri dengan baik.
*) Penulis merupakan
Pustakawan di SMA Islam Sunan Gunung Jati Pondok Ngunut Tulungagung
Komentar
Posting Komentar