Oleh: Muhammad Fikri Haikal (XII MIA 1)
Beberapa hari yang lalu, kita sebagai umat muslim baru saja merayakan Hari Raya Idul ‘Adha. Pada saat itu, dianjurkan bagi seorang muslim yang telah bercukupan untuk berkurban. Entah itu kambing, domba, sapi, kerbau, maupun unta. Itupun juga tidak sembarangan, syaratnya harus berganti gigi (powel), cukup umur, sehat, gemuk, dan lebih utamanya kambing berkelamin jantan. Nantinya daging kuban itu akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan oleh pihak masjid dan pemerintah setempat.
Kurban atau berkurban berasal dari bahasa arab qoribun yang berarti dekat. Kenapa dekat? Ya, karena tujuan berkurban ialah mendekatkan diri kepada kepada Sang Khaliq dan sesama manusia. Dalam berkehidupan bermasyarakat kegiatan berkurban dapat mendekatkan bahkan memperkuat ukhuwah tali persaudaraan. Dengan saling berbagi maka kesenjangan sosial akan hilang, yang miskin bisa merasakan makan daging yang tidak bisa dibeli oleh mereka, sebagaimana orang-orang bercukupan itu.
Dalam konteks keagamaan, berkurban juga dapat mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Bagamimana bisa? Coba kita kembali ke masa lampau, dimana perintah berkurban pertama kali diperintahkan oleh Allah kepada manusia. Ketika Habil dan Qobil diperintah berkurban sesuatu yang dimilikinya untuk membuktikkan siapa yang pantas meminang Iqlima, kembaran Qobil. Pada saat itu dari pihak Qobil tak terima jika dijodohkan oleh Labuda, kembaran Habil. Ia merasa Iqlima lebih cantik daripada Labuda. Padahal Allah sudah menjodohkan mereka bersilangan. Alhasil muncullah rasa kecemburuan dan tak terima dari Qobil. Singkat cerita, Qobil mengkurban hasil panennya yang buruk dan jelek, sendangkan Habil mengurbankan hasil ternak yang paling sehat, gemuk, dan terbaik. Akhirnya, kurban yang diterima oleh Allah, ia berniat untuk melaksanakan perintah dan mendekatkan diri kepadaNya, dan Habilpun termasuk orang yang dicintai olehNya.
Khalilullah
- julukan Nabi Ibrahim A.S - juga diperintah berkurban oleh Allah. Beliau
diperintah mengurbankan anak yang paling disayanginya. Coba bayangkan, seorang
ayah yang telah lama menanti momongan, ketika masih kanak-kanak harus
disembelih oleh tangannya sendiri, sangat berat bukan? Tapi nabi Ismail -anak Nabi
Ibrahim A.S- malah mengingatkan ayahandanya agar bersabar
dan melaksanakan perintah Allah dan berkata semoga kita dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Karena keteguhan hati ayah dan anak ini ketika Nabi Ismail
A.S akan disembelih, oleh Malaikat Jibril diganti dengan domba yang dulu pernah
dikurbankan oleh Habil. Nah, dari peristiwa inilah awal dari persyari’atan
berkurban diperintah.
Bahkan
pada surah Al-Kautsar ayat 2 masalah berkurban disinggung, Allah berfirman :”Maka
tegakkanlah sholat kepada tuhanmu dan berkurbanlah”(Q.S. Al-Kautsar 108:2).
Dalam ayat tersebut kenapa berkurban disandingkan dengan salat? Ya, karena
kedua ibadah tersebut bertujuan agar orang yang melakukannya dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Seperti salat yang mana agar kita dapat mengingat Allah. Dalam
salat terdapat doa dan dzikir, semakin kita mengingat Allah, maka kita akan
tahu bahwa segala ciptaanNya akan binasa dan hanya Allah yang kekal. Jika sudah
seperti itu kita akan merasa membutuhkanNya dan bisa semakin dekat denganNya.
Berkurbanpun juga bisa sebagai bentuk rasa syukur kita atas karunia dan rahmat
yang dilimpahkan kepada kita, bentuknya ya dengan berkurban itu. Maka berkurban
dikategorikan sebagai ibadah yang Hablun min Allah dan Hablun min al-nas.Selain
mendekatkan diri kepada Allah juga dapat mendekatkan diri kepada manusia.
Pada dewasa ini, ruh berkurban masih sangat relevan meski Hari Raya Idul ‘Adha telah lewat, kok bisa? Ya, karena tujuan utama berkurban untuk mendekatkan, kata mendekatkan ini bisa menyeluruhi segala hal dan ranah. Jikalau seorang remaja berkurban masa mudanya yang penuh akan kesenangan untuk menuntut ilmu. Maka remaja tersebut akan dekat dengan kesuksesan. Jika seorang santri mengurbankan waktu senggangnya yang biasanya untuk ngopi dan ngudud, si santri tersebut akan dekat dengan kefahaman ilmu, apalagi jika ia juga rela mengurbankan waktunya untuk mengabdi pada kiai. Bukan hanya ilmu saja, bahkan ia juga bisa mendapat barokah dari sang kiai.
Pemuda yang sedang dimabuk asmara juga harus mengurbankan yang ia miliki. Seperti waktu, bahkan harta. Nanti akan ada kemungkinan pemuda tersebut akan lebih dekat dengan yang dicintainya. Meskipun jodoh di tangan tuhan, usaha juga diperlukan. Jika tidak dapat lebih dekat berarti kurbannya kurang ikhlas.
Seorang pejabat juga begitu, ia harus mengurbankan masa-masa menjadi pejabat untuk mengayomi dan memakmurkan rakyatnya, bukan malah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Coba saja jika seorang pejabat bisa berkurban, maka hal-hal seperti korupsi, pelanggaran hak rakyat, dan penyalahgunaan kekuasaan takkan terjadi, tak ada kemiskinan dan tindak kriminal. Karena para rakyatnya merasa diperhatikan, tak diabaikan. Dan masih banyak lagi ‘kurban-kurban’ lainnya yang ada disekitar kita.
Nah, mulai saat ini mari kita berkurban apa yang kita punya dan kita jalani, suatu saat nanti kita akan dikekatkan dengan apa yang kita inginkan. Itu pasti! Percayalah, sesuatu yang kita kurbankan entah apapun itu, akan ada hasilnya. Sudahkah anda berkurban hari ini?
*) Penulis
adalah siswa kelas 12 MIA 1 yang berasal dari Batam, Kepulauan Riau.
Sangat bagus sekali. Tingkatkan terus ya dek menulisnya. Semangat berkarya. Salam literasi
BalasHapusTerimkasih atas apresiasinya bapak. semoga bermanfaat.
Hapus