Oleh: Muhammad Tontowi
Islam sudah
berabad-abad berkembang di Nusantara, salah satu teori menyebutkan bahwa Islam
masuk ke Nusantara pada abad 13 Masehi melalui para pedagang muslim Gujarat.
Proses masuknya Islam di Nusantara berlangsung secara damai, dalam artian
dakwah Islam berlangsung secara perlahan dan flexibel (tidak kaku). Tradisi dan
budaya yang sudah berkembang tidak dihilangkan, akan tetapi digunakan sebagai
alat dakwah guna merepresentasikan Islam rahmatan
lil 'alamin. Dalam prosesnya, Islam dan Budaya Nusantara saling disesuaikan
sehingga menciptakan ciri Islam Nusantara yang khas, hasilnya pun memuaskan,
Islam semakin berkembang pesat bahkan menjadi agama mayoritas di Nusantara.
Salah satu
warisan peradaban yang masih bisa kita jumpai adalah aksara pegon. Aksara Pegon
adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa. Aksara pegon
mulai digunakan sekitar abad ke-16, sebelumnya masyarakat Jawa menggunakan
aksara Carakan atau yang lebih dikenal dengan aksara Jawa Baru (hanacaraka)
untuk penulisan. Ulama zaman dulu sengaja menghadirkan aksara pegon untuk
mempermudah prosesi penyerapan sumber-sumber keilmuan Islam yang kebanyakan
berbahasa Arab. Untuk masalah fonetis terdapat sejumlah aksara rekaan untuk
membedakan bunyi, seperti ڠ untuk bunyi nga (ꦔ), چ untuk bunyi ca (ꦕ), ڮ untuk
bunyi ga (ꦒ) dan lain-lain.
Dalam
catatan sejarah, aksara pegon pernah mengalami masa kejayaan, aksara pegon
pernah dijadikan aksara resmi di Kasultanan Banten, selain itu kolonial Belanda
juga pernah menggunakannya untuk menuliskan surat resmi. Namun sekarang
penggunaan aksara pegon mulai jarang ditemukan, eksistensi aksara pegon
tertindih oleh hadirnya aksara latin yang memang penggunaanya global. Melihat
begitu meredupnya penggunaan aksara pegon, mungkin saya tidak berlebihan jika
mengatakan bahwa aksara pegon hanya tersisa di pesantren salaf dan madrasah
diniyah desa. Umumnya para santri menggunakannya untuk memaknai kitab kuning.
Ya, masih sesuai tujuan aslinya, yakni untuk mempermudah penyerapan ajaran
Islam. Akan tetapi kita sudah jarang melihat penerapannya diluar proses menulis
dan memaknai kitab. Contohnya seperti penulisan pengumuman dan surat menyurat
di pesantren sudah jarang yang memakai aksara pegon, lebih mirisnya lagi himbauan
untuk menjaga kebersihan di tembok asrama pun ditulis dengan aksara latin.
Bukan bermaksud untuk melenyapkan aksara latin karena merupakan produk barat,
namun setidaknya kita menaruh perhatian lebih akan aksara pegon agar bisa
sejajar dengan aksara latin.
Zaman
dahulu memang tidak sama dengan zaman sekarang, kita pun tidak mungkin dan
tidak perlu kembali ke zaman dahulu. Namun yang perlu dicatat adalah peradaban
hari ini terbentuk oleh perjalanan panjang di masa lalu. Sejarah telah merekam
berbagai peristiwa penting guna bahan pembelajaran. Seperti proses penciptaan
aksara pegon, dari peristiwa tersebut kita bisa mengetahui bahwa didalam
prosesnya terdapat semangat dan ambisi ulama terdahulu. Ulama-ulama terdahulu
telah berkreasi dan berinovasi demi memudahkan proses penyebaran Islam di
Nusantara. Bisa kita artikan melestarikan aksara Pegon sama dengan meneruskan
perjuangan ulama terdahulu. Lantas apakah aksara pegon bisa tetap lestari?, ya
terserah kita. Hehe..
Penulis adalah alumni SMA Islam Sunan Gunung Jati Pondok Ngunut tahun 2018. Santri asal Kediri.
Komentar
Posting Komentar