Langsung ke konten utama

Dua Sahabat dengan Senja Sebelum Berpisah


Oleh : Exzal Antolyn Febriansyah 

            Saat itu hari menjelang sore. Aku sedang berjalan menikmati sisa hari ini karena esok akan berganti. Aku berjalan bersama temanku Deri. Deri orangnya cukup tinggi, kulitnya lebih putih sedikit dariku, tapi soal kecerdasan, ia tidak mengungguliku. Eh iya sementara aku sendiri, namaku Satya. Aku memiliki tubuh yang cukup atletis jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku, ya tubuhku tergolong tinggi dengan kulit tidak begitu gelap, dan tergolong orang yang cerdas. Hehe...

            Aku dan Deri seolah-olah sudah seperti saudara sendiri kemana-kemana aku selalu berdua bersamanya. Bahkan teman-temanku sampai memanggil dengan panggilan SARI, yang merupakan singkatan dari Satya dan Deri. Ah sialan mereka. Namun begitu, teman-temanku bangga kepada kami karena kami berdua menjadi andalan saat di sekolah. Dalam berbagai acara baik acara yang bersifat bersama ataupun individu.

            “Der.” Panggilku.

 “Iya apa? Jawab Deri dengan logat melayunya. Barangkali ketika orang lain mendengar akan merasa terbentak. Tapi, tenang saja aku sudah terbiasa.

 “Sekarang mau kemana enaknya?” Tanyaku yang sedari tadi bingung mau mencari tujuan kemana.

“Ke tempat yang tinggi aja gimana?” Deri memberi usulan sambil seolah-olah ia sedang memikirkan suatu hal.

“Ngapain? Mau lompat kamu?” Jawabku yang cukup bingung dengan ekspresinya. Bayangkan saja dari yang tadi biasa saja kini berubah menatap sesuatu hal yang ada di depannya dengan pandangan yang berbinar-binar.

Ngeliat cantiknya mentari ketika hendak pergi” Jelasnya dengan tatapan yang berbinar-binar seolah-olah sedang membayangkan sesuatu yang menggugah jiwanya. Tapi, memang begitulah dia terkadang suka mengucapkan kata-kata yang puitis.

            Tanpa menjawabnya aku langsung melanjutkan perjalanan. Aku menuju kesuatu tempat yang lebih tinggi agar bisa melihat salah satu anugerah dari Allah yang tiada tandingnya, berupa semburat jingga mentari yang menjadi pertanda akan berakhirnya perjuanganku hari ini.

            Sesampainya di tempat yang kami tuju, aku duduk bersama sahabatku di samping sebuah bukit yang cukup tinggi.

“Der liat tuh udah mau tenggelem mentarinya, cantik banget ya.” Ucapku untuk membuka percakapan.

Deri tak langsung menjawab, ia hanya diam sambil memandang dengan penuh takjub akan keindahan mentari yang hendak pergi ini.

“Kok diem aja. Eh kamu tau nggak kenapa disebutnya cantik bukan ganteng?” Ucapku lagi sembari memberi pertanyaan agar suasana tidak begitu dingin. Lagian Indonesiakan hanya memiliki musim panas dan musim penghujan. Jadi, ngga logiskan kalau aku dan Deri dingin-dinginan. Hhhehee.

Eh iy,  kenapa ya?”.

“Ya jelaslah. Karena Allah mengutus seorang malaikat  yang merawat dan menjaga kita  dengan penuh keikhlasan seorang ibu.” Terangku dengan bangga di depan sahabatku ini. Maka dari itu bagi kita seorang laki-laki jangan sampai  merendahkan seorang wanita. Karena jika kita merendahkan wanita secara tidak langsung kita juga merendahkan ibu kita.

            “Wuih keren. Tapi pernah juga ngga, mikir sebentar lagi kita akan berpisah. Nggak kebayang nanti kalo aku benar-benar pisah sama kamu? pasti bakal sepi hari-hariku.” Jawabnya sekaligus bertanya bagaimana nanti kalo sudah berpisah sambil mengarahkan pandangannya ke semburat jingga yang begitu cantiknya.

            Iya aku juga memikirkan semua itu.” Jawabku singkat.   Aku mengerti dia pasti begitu sedih, sebenarnya aku juga memikirkan hal ini sebelumnya. Hanya saja aku tidak siap untuk memulainya. Bagaimana tidak susah senang, aku selalu bersamanya. Begitu banyak hal-hal yang begitu berkesan ku lakukan bersamanya.

Waktu kenapa berlalu begitu cepat? Gumamku dalam hati. Tapi bagaimana lagi, tidak mungkin aku melawan waktu.

“Aku benar-benar belum siap.” Keluhnya kepadaku. Terlihat jelas dari ekspresinya dengan pandangan mata yang berbinar-binar. Andaikan air mata bisa melompat, jelas akan melompat dari matanya. Aku sendiri merasakan apa yang ia rasakan.

”Tenanglah kita hanya berpisah sekolah setelah sekolah kita masih bisa berjumpa dan pergi bersama-sama percayalah.” Jawabku berusaha menguatkannya.       “Tapi tetap saja itu akan berat bagiku, bayangkan kita telah lama selalu bersama. Suka maupun duka dalam kisahku, pasti selalu denganmu.” Ia tetap belum bisa menerima penjelasanku. Bahkan tanpa sengaja air matanya menetes di pipinya.

Aku membiarkan dulu ia merenung. Mungkin ia sedang menenangkan dirinya dengan cara begitu. Ia kembali menatap ke arah senja setelah mengusap air mata yang dengan tidak sengaja ia teteskan tadi. Aku hanya bisa melihatnya dengan perasaan yang sama sepertinya.

Aku memikirkan hari demi hari yang pernah ku lalui bersamanya. Saat awal masuk ke sekolah sebagai siswa baru aku belum mempunyai teman sama sekali. DEri datang menyapaku dengan penuh keramahan, lalu aku bercerita kepadanya tentang hal-hal kecil yang pernah kulalui sebelumnya. Ia mendengarkanku dengan penuh antusias, Deri juga bercerita tentang pengalamannya pula. Sejak awal perkenalan itu aku dengannya semakin akrab. Lalu bagaimana saat-saat MOS bersama-sama melewati tantangan-tantangan yang di berikan kakak panitia. Tak ketinggalan saat aku sempat menangis kala dikerjain kakak panitia bahwa aku telah menghilangkan barang miliksalah seorang temanku. Deri tetap setia menemaniku bahkan ketika aku dibully oleh teman-temanku karena menangis tersebut. Dan hanya ia yang tetap mendukungku. Sampai akhirnya di hari penutupan MOS dipanggil menuju ke depan karena terpilih sebagai peserta terbaik.

Kini semuanya tinggal kenangan dan tanpa terasa aku dengannya telah sampai didetik-detik akhir. Detik-detik akhir setelah melalui perjalanan hebat yang pastinya akan menjadi kenangan yang tak akan terlupakan olehku. Pengalaman menjadi dua sejoli dengan julukan SARI, sebuah singkatan yang diberikan teman-teman kami, yang memiliki kepanjangan Satya dan Deri. Menjadi sejoli yang di banggakan bapak dan ibu guru, serta disayangi oleh teman-teman.

“Der, udah sedihnya. Semangatlah kita nggak berpisah untuk selama-lamanya. Kita buktikan bahwa persahabatan kita bukan hanya persahabatan di sekolah. Tapi lebih dari itu, persahabatan kita tuh. Persahabatan angka delapan. Taukan angka delapan, kalau ngga ada putusnya sama seperti persahabatan kita.” Aku berusaha menjelaskan kepadanya dengan semangat. Dengan harapan ia juga    kembali bersemangat.

“Hhe iya makasih semangatnya. Kamu memang benar-benar sahabatku. Aku janji persahabatan kita seperti angka delapan.” Balas Deri yang kembali bersemangat. Kini raut wajahnya sudah lebih ceria dibandingkan tadi yang lusut seperti koran yang terabaikan.

“Iya angka delapan ngga ada putusnyaaaaa.” Timpalku dengan sedikit berteriak penuh semangat.

“Ngga ada putusnyaaaa.” Ulangku dengannya. Kita sudah kembali bersemangat dan sudah mulai siap menghadapi perpisahan dengan janji yang diucapkan dengan mantap.

“Seperti senja yang indah juga ya, yang kepergiannya memberikan pesan melalui sinar jingga bahwa ia akan kembali lagi.” Tambahku.

Memang begitu sesuatu yang cantik pasti akan pergi dan kita harus selalu percaya bahwa dari kepergian tersebut akan mendatangkan kembali hal-hal cantik lainnya yang belum kita ketahui. Untuk mencapai sesuatu yang cantik selanjutnya lagi kita tidak bisa hanya berdiam diri. Karena kita setelah berpisah dari cantiknya senja, untuk menyambut cantiknya pagi. Kita harus siap melewati seramnya malam.

“Iya kok aku mengerti sekarang.” Balas Deri dengan kembali percaya diri

Mentaripun sudah semakin menghilang dan kita pun sudah kembali percaya diri untuk melanjutkan perjuangan yang lebih tinggi untuk menggapai masa depan. Lalu kita berdua memutuskan untuk pulang bersama-sama. Sepanjang jalan pulang kita berdua tetap bercerita dengan sesekali tertawa. Mengenang hal-hal yang pernah dilalui bersama. Tanpa terasa kita telah sampai di persimpangan yang memisahkan rumahku dengannya. Kitapun melanjutkan perjalanan masing-masing dengan saling melambaikan tangan.

*) Penulis merupakan Siswa SMA Islam Sunan Gunung Jati Pondok Ngunut kelas X MIA 1 (Santri asal Banyuasin) 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

LDS adalah salah satu wadah pengembangan bakat siswa dalam hal kedisiplinan di lingkungan sekolah. mereka ditempa untuk menjadi seorang siswa yang mampu menjaga dan menciptakan suasana yang penih kedisiplinan dilingkungan SMA Islam Sunan Gnung Jati

Pameran Kreasi Seni Siswa SMA Islam Sunan Gunung Jati

PUISI : Dia tak peduli

                                                                      Dia tak peduli  Oleh : Andre S Lesmana  12 IIS 2 Santri Asal Sumatera Nanti d ia semakin merajalela    Tak peduli dengan sekitarnya   Tak peduli dengan sampah negara yang berkembang   Mentari semakin pudar kehilangan sinar kebebasannya Orang-orang saling membunuh perasaan Tak   peduli yang ditindihkan Tak peduli yang di bawah   Aku melihat dia tersiksa mana keadilan yang katanya akan diratakan   Bumi berontak menghancurkan segala yang di atasnya Bukannya aku tak mau Aku tak bisa bergerak Ranta-rantai uang terus membelengguku   Dia seakan tak peduli dengan yang di bawah Tapi . . . Nanti air ...