Langsung ke konten utama

Cerpen : Mencoba Berbakti (Nur Nashrun Yahya)


Gelap gulita malam perlahan meninggalkan kehidupan diriku beserta kawanku di pesantren ini. Matane matahari perlahan tampak dari kejauhan, gema suara Mas Kaun mengaun-ngaun memanjakan para santri untuk menyelami keindahan mimpi, sembari bersembunyi dari kepungan Pak Pengurus yang dari kejauhan perlahan mendekati, untuk membuyarkan keindahan mimpi para santri, tak lain membuyarkannya demi kebutuhan Ukhrowi. Para santri yang tidak ingin terganggu, ia lebih memilih untuk mengasingkan diri, tapi Pak Pengurus yang lebih tahu akan kondisi, terkadang memunculkan suatu peristiwa macam Tom And Jerry, berkejar-kejaran, terkadang pula saling lari, tak jarang juga pula ada santri terkena, dan hukumanlah yang terjadi.
            Aku seorang yang tak mau merasa terbebani akan keadaan ini, lebih memilih pergi menghadap Ilahi, bermunajat untuk kebutuhan diri yang penuh akan dosa dan tak lupa untuk orang-orang yang aku cinta, serta bangsa yang telah mengayomiku sejak sedia kala. Di Masjid terkadang pula masih ada yang mengangguk-angguk sendiri, entah menikmati setiap bagian dari wirid yang terlontar dari mulut Pak Yai, atau karena kecapekan atas perbutannya di pesantren ini, ro’an1), rokoan dan terkadang membuat halaqoh untuk menilai kebijakan-kebijakan Pak Pengurus yang menyeleweng dari pikiran nalar, macam Partai Oposisi yang kalah Pemilu dalam Sistem Dwipartai. Tak sedikit pula yang hanya mengomat-kamitkan mulutnya, mungkin karena tak hafal dan tak disuruh untuk menghafalkan. Alangkah susahnya bila praktik ‘ubudiyah pasca UNBK adalah menghafal waridan setelah Sholat Subuh. Pasti yang ada hanya mengeluh dan mungkin bisa pula malah berbuat onar demi pelampiasan nafsu buruknya.
            Bertepatan dengan Sayyidul Ayyam (2, aku yang krisis ekonomi memilih melampiaskannya dengan sepak bola, terkadang pula dalam sepak bola, bukan bola yang kena sepak, malah kaki manusia yang menjadi sasaran atas kekesalan yang aku rasa. Namun tatkala panggilan ro’an(1 yang terlebih dulu menghampiri, maka itulah yang dipilih hati.
“Run... sambang ” panggilan kawanku dari kejauhan, sontak hilang kekesalan yang selama ini bersemayam dalam diri ini, terkadang pula dalam kekesalan, tanpa sadar aku malah menyalahkan alam, Ibuku, terkadang pula Pak Presiden, padahal Albert Ellis dalam Majalah Dimensi IAIN Tulungagung, telah mengatakan,
tahun-tahun terbaik dalam hidupmu adalah saat dimana engkau memutuskan setiap masalah adalah masalahmu sendiri. Engkau tidak menyalahkan Ibumu, alam, atau bahkan Presiden. Engkau menyadari bahwa dirimu sendirilah yang mengendalikan takdirmu sendiri ”.
Dengan cepat, mungkin macam kecepatan cahaya aku membersihkan badan dan mengenakan baju yang sopan untuk menghadap wanita yang paling aku cinta di dunia, Ibuk. Tanpa mimikirkan apapun aku menemuinnya, entah ada cewek cantik macam Istri Raffi atau malah Ikan bakar Gurami, aku tak peduli. Tapi, tatkala Sang Kiai yang ingin lewat, diamlah diriku ini, berapa lamanya pun aku rela, karena aliran deras sungai barokah mengalir dalam setiap langkah wibawanya. Itulah tujuan orang-orang kemari, mendapat sepercik curatan air sungai barokah.
Talange bondo iku wang tuo, talange ilmu iku guru”, ucap Bapakku.
Tepat di Sorgo (Sor Tonggo) Masjid Baitul Lathief, kulihat biasan senyuman indah dengan sedikit guratan di kulit tuanya dari kejauhan, ditemani orang yang telah dijodohkan kepadaku, atau lebih tepatnya sudah menikah secara agama denganku, Nay namanya.
“Assalamu’alaikum...” ucapku kepada mereka berdua.
“Wa’alaikumussalam...” jawabnya.
“Lho... Ibuk kok dengan Nay ” ucapku, sembari meraih tangan yang kata orang telah lama mengkerut. Tapi dalam setiap kerutan, telah banyak menyimpan makna yang sangat bernilai harganya, macam prasasti kuno pada Kerajaan Kutai Kartanegara.
“Orang yang ngajak ke sini dia, katanya ia gak bisa memendam rasa Syauqi(3 dalam hatinya” kata Ibuk dengan sedikit senyuman indah di wajah tuanya.
“Iya Bang... benar Neng gak tahan..., Bang raih tanganku...” ucapnya agak tersipu malu.
“Kenapa sih kok masih malu, kan kita sudah ada ikatan yang sah dalam agama, senyum dong...” kataku, sembari mengulurkan tanganku kepadanya. Dan diciumlah tanganku dengan semburan senyum manisnya di pipi Indah-tembemnya.
“Hati-hati lho le, di jaga hatinya, jangan sampai kamu menyakiti hati seorang wanita yang terlanjur menyayangimu setulus hatinya” ucap Ibuk, membuyarkan rasa yang mendekam pada diri ini.
            “Siap...” kataku.
            “Dengar Abangmu Nay, ia berjanji tak akan menyakiti hatimu ” dengan suara lembut Ibuk mengatakanya.
            “Bener lho... Neng gak mau Abang berpindah hati hanya karena harta ”, kali ini Nay mengatakanya dengan pasang muka cemberut.
            “Aku memilih kamu apa adanya, bukan ada apanya”, mendengar ocehanku, ia tampakkan keindahan wajahnya dengan ornamen guratan melengkung dari bibir mungilnya, macam bulan sabit yang menghiasi keindahan malamku yang mencengkam tanpa bersanding dengannya. Ya itulah Santri, memilih kesederhanaan dalam masalah dunia.
            Obrolan kami beranjak ke mana-mana, kegiatan pondok serta sekolah yang kecil-sekecil biji sawipun tak lepas diobrolkan. Kelonggaran waktu akibat liburpun seakan tak bisa lari dari pertanyaan Ibuk dan Nay, mungkin karena tak mau orang yang dikasihinya menyia-nyiakan waktu hidupnya.
            “Lho...Lho.. itu kenapa? ” ucap ibuk dan Nay serempak dan kompak, macam paduan suara kamarku yang menang MQM (lomba akhir tahun), tahun lalu.
            “Kok di gundul ” kata Nay.
            “Itu karena ulahnya sendiri, mungkin pacaran atau merokok barang kali. Sama kan dengan negara kita, ada peraturan dalam setiap masalah, bagi siapa saja yang melanggarnya pasti sanksi yang dirasa.” kataku kepada Nay, tak sedikit pula ia senyum-senyum sendiri, entah karena apa?
            “Lha... sampeyan bagaimana to le? ” tanya Ibuk yang mungkin khawatir akan keadaan anaknya yang sedang mempunyai sebuah rasa terhadap pasangannya, maklum kalau Ibuk khawatir, beliau yang selama ini mengandung, melahirkan, membesarkan dan me... yang lainya, yang tak bisa dibalas bila hanya dengan harta, setidaknya bisa membuat rasa bangga padanya adalah salah satu membalas salah satu kebaikannya.
            “Ya... unik lah Buk bila Abang ini di gundul... plontos ” potong Nay dengan ledekan tawa yang terdengar renyah di telinga, macam gorengan kantin Kang Bagong, masih hangat. Oh berarti senyuman yang tercurah dalam wajah indahnya tadi, mungkin alam bawah sadarnya memperlihatkan kekonyolan wajahku, akibat keplontosan kepalaku, bila gundul yang menimpaku.
            “Ya... tak apalah Buk, kan itu salah satu kepatuhan diriku terhadap Pak Yai yang selama ini telah menularkan samudra ilmunya kepadaku. Tak mungkin kan bila aku mencuri ilmunya?. Di sini aku patuh dengan peraturan yang telah mengenai tanpa bisa dihindari. Di sana, ketika di rumah, Ibuk dan Nay sebisanya juga mematuhi hukum pancasila yang telah mengakar pada bangsa ini, ya?” jelasku. Mendengar penjelasanku yang menurutku tak pernah jelas, beliau hanya mengangguk-angguk sembari menggelar senyum leganya.
            “Tak rugi Ibuk memondokkan Abang, sekian lama Abang mondok, sekian lama pula Neng menunggu Abang, ternyata ada buah yang dapat dimakan, tak rugi Neng memilih Abang menjadi Imam Neng ” kata Nay.
            “Itu cuma beberapa. Lha Bahasa Singa lho... Abang bisa ” ledekku.
            “Bagaimana bang? ” seakan ia percaya denganku.
            “Aghhhrt...”
            “Apa artinya Bang?” tanyanya.
            “Abang sayang Neng ” jawabku.
            “Ih gombal...” katanya.
            “Gitu kok percaya, Lha wong yang melahirkan lho Ibuk, emang Nay mau nikah dengan Singa?” ucap Ibuk melerainya.
            “Mau bila Singanya adalah Abang ” kata Nay dengan sedikit ledekan dan senyum tipis di pipi-tembemnya.
            “Alah tak percaya aku ” kata Ibuk.
“Nay... yuk pulang ” lanjut Ibuku dengan paparan mata yang terlihat sedikit merah dan luapan mulut menganga, menandakan kekuatan yang tercengkang pada dirinya semakin turun dan hampir menuju ke nomor nol.
            “Ya udah jaga diri ya...” pesanku kepada mereka berdua.
            “Kok jaga diri Bang, benar kalau untuk Ibuk jaga diri, kalau ke Neng jangan jaga diri ...”
            “Lha terus...” tanyaku.
            “Jaga hati lah...” ledeknya kepadaku.
            “Ah....Neng Gendut ”
*******
            “Walhamdulillahi Robbil ‘Alamien ” berakhir sudah lantunan do’a dari Yai Makhrus, menandakan usai sudah Solat Jum’at ini. Berkocar-kacir para makmum menghilang dari Masjid demi memenuhi kebutuhan duniawi, para santri yang haus akan kebutuhan ukhrowi dan percaya dengan barokah dari Yai, mereka memilih  berebut sungkem dari pada mengurusi perut dengan sesuap nasi dan beberapa suap lagi, bukan suap yang dilakukan para pejabat tak punya hati untuk mengakali hukum Negeri ini, walau terkadang ada yang bilang bahwa, barokah adalah misteri.
Aku yang tak mau antri, lebih memilih menatakan alas kaki Yai dengan harapan ada berkah yang menghampiri, meski terkadang kawanku memaki dan terlahir kata yang masuk dalam hati, berusaha merong-rong sehingga mengakibatakan sakit hati. Aku tak peduli, aku berusaha tetap kokoh pada tindakanku, macam bangsaku, yang sekian lama memberikan perlindungan kepada seluruh penjuru Negeri termasuk diriku, toh aku beragama Islam dan menjadi santri karena jasa yang besar dari bangsaku, mungkin bila aku tidak lahir di sini, tapi lahir di negeri yang mayoritas kekerasan yang terjadi, kemungkinan besar aku takkan bisa hidup dengan rasa damai macam ini. Sebagai balas budi terhadap bangsaku, aku akan berusaha sebisaku menjaga nilai-nilai luhur yang telah mengakar pada bangsa ini dengan menjadi santri, berusaha menjaga tradisi dan melaksanakan hukum sejak usia dini.
“Run....” panggilan kawanku dengan berat suara, mungkin karena dirinya yang lapar, yang sejak pagi hanya mengisi kehidupannya dengan mengaji dan sedikit menghayati isi-isi yang terkandung dalam kalam Ilahi,  katanya ia membacanya untuk bangsa ini, yang telah dilanda musibah. Ditengah menyambut kegembiraan Asian Gemes yang telah usai beberapa bulan yang lalu, Lombok diguncang secara merata. Beberapa hari yang lalu sehari sebelum peringatan G-30S/PKI, Palu-Donggala merasakan sebuah rasa yang sama, tangis menyebar ke penjuru bangsa, entah apa mengapa masalah ini menimpa Bangsa?
“Yap...” tanggapanku kepadanya, sembari mengatakan yang lain,
“Kok lemes belum makan ya?”
“Makan yuk ” ajakku.
“Aku terasa gak bisa menelan makanan, melihat bangsaku yang porak-poranda. Tapi, meskipun demikian kenapa masih banyak orang-orang yang mau mencuri keuangan negara? Inilah yang membuatku ingin memusnahkan orang-orang baik tapi naif itu, ia sebenarnya adalah orang baik, tapi menjadi naif karena beberapa hasutan orang-orang radikal yang menyebabkan otaknya terkontaminasi dengan hal-hal yang jorok ” katanya, dari Buku sejarah.
“Tidak melihatkah mata yang telah diberikan tuhan kepadanya, nikmat tuhan padahal sudah banyak dan tak dapat terhitung, kata Pak Ibnu Bardy yang ia ambil dari Al-Qur’an kan begini,
 قل لو كان البحر مددا لكلمات لنفد البحرقبل أن تنفد كلمات ربى ولوجئنا بمثله مددا(4. Itulah yang dinamakan manusia padahal nikmat yang diberikan tuhan sangat banyak, belum mungkin kenikmatan sekecil biji sawi sudah disyukuri, malah mencuri yang lebih besar tanpa ada rasa manusiawi ” tambahnya.
“Alah aku juga tahu, ayolah makan, sandainya kamu tak makan dan nantinya menyebabkan keadaanmu semakin menderita terus siapa yang akan mendo’aka mereka lagi?, setidaknya kita kan juga harus mengurusi kebutuhan kita masing-masing, nanti bila sudah kelar tak apalah kita mengurusi keadaan mereka, walau yang kita bisa adalah berdo’a ” kataku, merengek-rengek kepadanya. Aku tak mau teman dekatku terlalu larut dalam rasa derita, walau dirinya bukan asli warga Palu-Donggala.
“Ayo... kalau gitu aku mau, mungkin bila kamu tak meluruskan pemikiraku, bisa dipastikan aku berlarut dalam sebuah rasa dan nantinya memungkinkan menyalahkan pejabat, presiden atau malah menyalahkan Tuhan”
“ Ya Tuhan terima kasih atas pertolonganmu lewat kawan baikku ini, aku dan kawanku berlindung kepadamu dari godaan setan asli dan dari setan manusia” munajatnya mengakhiri perbincangan kami, dan bergerak menuju kamar tuk mengisi perut.
“Aduh... sungguh bejat mereka, memotong rambutku tanpa tersisa ” keluh temanku kepada Pak Pegurus. Suatu sikap yang menurutku tak menunjukkan kepatuhan terhadap hukum pesantren, mungkin sikap ini adalah yang telah mengawali segala permasalahan yang ada. Suatu sikap muncul terus diumbar dan menyebar menuju pelosok negri. Padahal kata Mustahiqku “Kita tidak boleh membangkang atas peraturan yang selama ini mengakar pada bangsa, selama para pejabat bangsa tidak mengekang kita dan menyebabkan kita sengsara.” Berarti dalam praktiknya, tatkala Pak Pengurus menderitakan kami, kami boleh bertindak atas ketidakadlilan mereka, tapi harus dengan rasa kemanusiaan, karena ia adalah juga manusia. Kata Gus Mus kan begini,
tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia dan manusiakanlah manusia”
Dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara, ketidakpuasan atas kesalahan pemerintah berarti boleh untuk diluapkan asalkan ada bukti yang kongrit dan dengan rasa kemanusiaan. Tapi, ketika yang terjadi adalah penganiayaan terhadap manusia, maka kita boleh melawannya, karena mereka yang tidak memiliki perasaan atas sesama manusia.
 “Janganlah mengeluh... kang, bukankah kita telah diajari menerima segala sesuatu dengan ikhlas, yakinlah kang... suatu saat pasti akan tampak hikmah diri pada masalah ini” kataku kepadanya.
“Tapi begini lho suami Nay, mereka terkadang tidak mencerminkan bahwa mereka itu tidak pantas untuk sebagai contoh ” dalihnya.
“Berarti begini, tidak semua dari mereka itu bersalah, mereka sebenarnya adalah orang-orang yang baik. Tapi, atas pikiran-pikiran kotorlah, mereka ada yang bertindak sesuka hati dan meluapkanya para santri, terkadang pula muncul pikiran begini “Alah sudah pernah”, nah inilah yang menyebabkan mereka berlagak seperti itu. Mungkin tak hanya Pak Pengurus yang memiliki penyakit seperti ini, para pejabat pun mungkin ada, sehingga rakyat mengecap mereka sebagai pejabat bangsat ” ocehku.
“Inilah kawan keistimewaan santri, dimana rasa persatuan dan kebersamaan tetap ada dan mengakar setiap hati. Ketika ada kawan yang terjerumus atas godaan nafsu, maka pasti akan ada yang mengingatkan atas yang menimpanya. Memang bila seluruh sila dalam Pancasila dijalankan dengan khidmat tanpa ada rasa terpaksa, maka tak akan tercipta rasa saling benci antara satu dengan yang lainya, tak kan ada pula rasa beda” kataku kepadanya. Meski pesantren hanya tempat mengaji bagi santri, tapi pesantren memiliki kelebihan yang semestinya masyarakat luar setidaknya meniru beberapa rasa yang sejak lama sudah telah menjadi pohon kehidupan di pesantren, rasa yang ada dalam Pancasila, UUD 1945 dan UU yang lainya. Maka tugas santri tak lain adalah menularkan segala sesuatu yang terlah didapatkanya kepada masyarakat penjuru Negeri.
Selesai.......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LDS adalah salah satu wadah pengembangan bakat siswa dalam hal kedisiplinan di lingkungan sekolah. mereka ditempa untuk menjadi seorang siswa yang mampu menjaga dan menciptakan suasana yang penih kedisiplinan dilingkungan SMA Islam Sunan Gnung Jati

Pameran Kreasi Seni Siswa SMA Islam Sunan Gunung Jati

PUISI : Dia tak peduli

                                                                      Dia tak peduli  Oleh : Andre S Lesmana  12 IIS 2 Santri Asal Sumatera Nanti d ia semakin merajalela    Tak peduli dengan sekitarnya   Tak peduli dengan sampah negara yang berkembang   Mentari semakin pudar kehilangan sinar kebebasannya Orang-orang saling membunuh perasaan Tak   peduli yang ditindihkan Tak peduli yang di bawah   Aku melihat dia tersiksa mana keadilan yang katanya akan diratakan   Bumi berontak menghancurkan segala yang di atasnya Bukannya aku tak mau Aku tak bisa bergerak Ranta-rantai uang terus membelengguku   Dia seakan tak peduli dengan yang di bawah Tapi . . . Nanti air ...