Gelap gulita malam perlahan meninggalkan kehidupan
diriku beserta kawanku di pesantren ini. Matane matahari perlahan tampak dari
kejauhan, gema suara Mas Kaun mengaun-ngaun memanjakan para santri untuk
menyelami keindahan mimpi, sembari bersembunyi dari kepungan Pak Pengurus yang
dari kejauhan perlahan mendekati, untuk membuyarkan keindahan mimpi para santri, tak lain membuyarkannya demi
kebutuhan Ukhrowi. Para santri yang tidak ingin terganggu, ia lebih memilih untuk
mengasingkan diri, tapi Pak Pengurus yang lebih tahu akan kondisi, terkadang
memunculkan suatu peristiwa macam Tom And Jerry, berkejar-kejaran, terkadang pula saling lari, tak jarang
juga pula ada santri terkena,
dan hukumanlah yang terjadi.
Aku seorang yang tak mau merasa
terbebani akan keadaan ini,
lebih memilih pergi menghadap Ilahi, bermunajat untuk kebutuhan diri yang penuh
akan dosa dan tak lupa untuk
orang-orang yang aku cinta, serta bangsa yang telah mengayomiku sejak sedia kala. Di Masjid terkadang
pula masih ada yang mengangguk-angguk sendiri, entah menikmati setiap bagian
dari wirid yang terlontar dari mulut Pak Yai, atau karena kecapekan atas
perbutannya di pesantren
ini, ro’an1),
rokoan dan terkadang membuat halaqoh untuk menilai kebijakan-kebijakan Pak
Pengurus yang menyeleweng
dari pikiran nalar, macam Partai Oposisi yang kalah Pemilu dalam Sistem
Dwipartai. Tak sedikit pula yang hanya mengomat-kamitkan
mulutnya, mungkin karena tak hafal dan tak disuruh untuk menghafalkan. Alangkah
susahnya bila praktik ‘ubudiyah pasca UNBK adalah menghafal waridan setelah Sholat Subuh. Pasti yang ada hanya mengeluh dan
mungkin bisa pula malah berbuat onar demi pelampiasan nafsu buruknya.
Bertepatan dengan Sayyidul Ayyam (2, aku yang krisis ekonomi memilih
melampiaskannya dengan sepak bola, terkadang pula dalam sepak bola, bukan bola
yang kena sepak, malah kaki manusia yang menjadi sasaran atas kekesalan yang
aku rasa. Namun tatkala
panggilan ro’an(1 yang terlebih dulu menghampiri, maka itulah yang
dipilih hati.
“Run... sambang ”
panggilan kawanku dari kejauhan, sontak hilang kekesalan yang selama ini
bersemayam dalam diri ini, terkadang pula dalam kekesalan, tanpa sadar aku
malah menyalahkan alam, Ibuku, terkadang pula Pak Presiden, padahal Albert
Ellis dalam Majalah Dimensi IAIN Tulungagung, telah mengatakan,
“tahun-tahun
terbaik dalam hidupmu adalah saat dimana engkau memutuskan setiap masalah
adalah masalahmu sendiri. Engkau tidak menyalahkan Ibumu, alam, atau bahkan
Presiden. Engkau menyadari bahwa dirimu sendirilah yang mengendalikan takdirmu
sendiri ”.
Dengan cepat, mungkin macam kecepatan cahaya aku
membersihkan badan dan mengenakan baju yang sopan untuk menghadap wanita yang
paling aku cinta di dunia, Ibuk. Tanpa mimikirkan apapun aku menemuinnya, entah
ada cewek cantik macam Istri Raffi atau
malah Ikan bakar Gurami, aku tak peduli. Tapi, tatkala Sang Kiai yang ingin lewat, diamlah diriku ini, berapa
lamanya pun aku rela, karena aliran deras sungai barokah mengalir dalam setiap
langkah wibawanya. Itulah tujuan orang-orang kemari, mendapat sepercik curatan
air sungai barokah.
“Talange bondo
iku wang tuo, talange ilmu iku guru”, ucap Bapakku.
Tepat di Sorgo
(Sor Tonggo) Masjid Baitul Lathief, kulihat biasan senyuman indah dengan
sedikit guratan di kulit tuanya dari kejauhan, ditemani orang yang telah
dijodohkan kepadaku, atau lebih tepatnya sudah menikah secara agama denganku,
Nay namanya.
“Assalamu’alaikum...”
ucapku kepada mereka berdua.
“Wa’alaikumussalam...” jawabnya.
“Lho... Ibuk kok
dengan Nay ” ucapku, sembari meraih tangan yang kata orang telah lama mengkerut.
Tapi
dalam setiap kerutan, telah banyak menyimpan
makna yang sangat bernilai harganya, macam prasasti kuno pada Kerajaan Kutai Kartanegara.
“Orang yang ngajak ke sini dia, katanya ia gak bisa
memendam rasa Syauqi(3 dalam hatinya” kata Ibuk dengan sedikit senyuman
indah di wajah tuanya.
“Iya Bang... benar Neng gak tahan..., Bang raih
tanganku...” ucapnya agak tersipu malu.
“Kenapa sih kok masih malu, kan kita sudah ada ikatan yang
sah dalam agama, senyum dong...” kataku, sembari mengulurkan tanganku
kepadanya. Dan diciumlah
tanganku dengan semburan senyum manisnya di pipi Indah-tembemnya.
“Hati-hati lho le, di jaga hatinya, jangan sampai
kamu menyakiti hati seorang wanita yang terlanjur menyayangimu setulus hatinya”
ucap Ibuk, membuyarkan rasa yang mendekam pada diri ini.
“Siap...” kataku.
“Dengar Abangmu Nay, ia berjanji tak
akan menyakiti hatimu ” dengan suara lembut Ibuk mengatakanya.
“Bener lho... Neng gak mau Abang
berpindah hati hanya karena harta ”, kali ini Nay mengatakanya dengan pasang
muka cemberut.
“Aku memilih kamu apa adanya, bukan
ada apanya”, mendengar ocehanku, ia tampakkan keindahan wajahnya dengan ornamen
guratan melengkung dari bibir mungilnya, macam bulan sabit yang menghiasi
keindahan malamku yang mencengkam
tanpa bersanding dengannya.
Ya itulah Santri, memilih kesederhanaan dalam masalah dunia.
Obrolan
kami beranjak ke mana-mana, kegiatan pondok serta sekolah yang kecil-sekecil
biji sawipun tak lepas diobrolkan. Kelonggaran waktu akibat liburpun seakan tak
bisa lari dari pertanyaan Ibuk dan Nay, mungkin karena tak mau orang yang
dikasihinya menyia-nyiakan waktu hidupnya.
“Lho...Lho..
itu kenapa? ” ucap ibuk dan Nay serempak dan kompak, macam paduan suara kamarku
yang menang MQM (lomba akhir tahun), tahun lalu.
“Kok
di gundul ” kata
Nay.
“Itu karena ulahnya sendiri, mungkin
pacaran atau merokok barang kali. Sama kan dengan negara kita, ada peraturan dalam setiap masalah, bagi siapa saja yang
melanggarnya pasti sanksi yang dirasa.” kataku kepada Nay, tak sedikit pula ia
senyum-senyum sendiri, entah karena apa?
“Lha... sampeyan bagaimana to le? ”
tanya Ibuk yang mungkin khawatir akan keadaan anaknya yang sedang mempunyai
sebuah rasa terhadap pasangannya, maklum kalau Ibuk khawatir, beliau yang selama ini mengandung,
melahirkan, membesarkan dan me... yang lainya, yang tak bisa dibalas bila hanya dengan
harta, setidaknya bisa membuat rasa
bangga padanya adalah salah satu membalas salah satu kebaikannya.
“Ya... unik lah Buk bila Abang ini
di gundul...
plontos ” potong Nay dengan ledekan tawa
yang terdengar renyah di telinga, macam gorengan kantin Kang Bagong, masih hangat. Oh berarti senyuman yang tercurah dalam wajah indahnya
tadi, mungkin alam bawah sadarnya
memperlihatkan kekonyolan wajahku, akibat keplontosan
kepalaku, bila gundul yang
menimpaku.
“Ya... tak apalah Buk, kan itu salah satu kepatuhan
diriku terhadap Pak Yai yang selama ini telah menularkan samudra
ilmunya kepadaku. Tak mungkin kan bila
aku mencuri ilmunya?.
Di sini aku patuh dengan peraturan yang telah mengenai tanpa bisa dihindari. Di sana,
ketika di rumah, Ibuk
dan Nay sebisanya juga mematuhi hukum pancasila yang telah mengakar pada bangsa
ini, ya?” jelasku. Mendengar penjelasanku yang menurutku tak pernah jelas,
beliau hanya mengangguk-angguk sembari menggelar senyum leganya.
“Tak rugi Ibuk memondokkan Abang,
sekian lama Abang mondok, sekian lama pula Neng menunggu Abang, ternyata ada buah yang dapat dimakan, tak rugi Neng
memilih Abang menjadi Imam
Neng ” kata Nay.
“Itu cuma beberapa. Lha Bahasa Singa
lho... Abang bisa ” ledekku.
“Bagaimana bang? ” seakan ia percaya
denganku.
“Aghhhrt...”
“Apa artinya Bang?” tanyanya.
“Abang sayang Neng ” jawabku.
“Ih gombal...” katanya.
“Gitu kok percaya, Lha wong yang
melahirkan lho Ibuk, emang Nay mau nikah dengan Singa?” ucap Ibuk melerainya.
“Mau bila Singanya adalah Abang ” kata Nay dengan sedikit
ledekan dan senyum tipis di pipi-tembemnya.
“Alah tak percaya aku ” kata Ibuk.
“Nay... yuk pulang ” lanjut Ibuku dengan paparan
mata yang terlihat sedikit merah
dan luapan mulut menganga, menandakan kekuatan yang tercengkang
pada dirinya semakin turun dan hampir menuju ke nomor nol.
“Ya udah jaga diri ya...” pesanku
kepada mereka berdua.
“Kok jaga diri Bang, benar kalau
untuk Ibuk jaga diri, kalau ke Neng jangan jaga diri ...”
“Lha terus...” tanyaku.
“Jaga hati lah...” ledeknya kepadaku.
“Ah....Neng Gendut ”
*******
“Walhamdulillahi Robbil ‘Alamien ”
berakhir sudah lantunan do’a
dari Yai Makhrus, menandakan usai
sudah
Solat Jum’at ini. Berkocar-kacir para makmum menghilang dari Masjid demi
memenuhi kebutuhan duniawi, para santri yang haus akan kebutuhan ukhrowi dan
percaya dengan barokah dari Yai, mereka memilih
berebut sungkem dari pada mengurusi perut dengan sesuap nasi dan
beberapa suap lagi, bukan suap yang dilakukan para pejabat tak punya hati untuk mengakali hukum Negeri ini,
walau terkadang ada yang bilang bahwa, barokah adalah misteri.
Aku yang tak mau antri, lebih memilih menatakan alas
kaki Yai dengan harapan ada berkah yang menghampiri, meski terkadang kawanku
memaki dan terlahir kata yang masuk dalam
hati, berusaha merong-rong sehingga mengakibatakan sakit hati. Aku tak peduli, aku berusaha tetap kokoh pada
tindakanku, macam bangsaku, yang sekian lama memberikan perlindungan kepada
seluruh penjuru Negeri termasuk diriku,
toh aku beragama Islam dan menjadi santri karena jasa yang besar dari bangsaku,
mungkin bila aku tidak lahir di sini, tapi lahir di negeri yang mayoritas kekerasan yang terjadi, kemungkinan besar aku
takkan bisa hidup dengan rasa damai
macam ini. Sebagai balas budi terhadap bangsaku, aku akan
berusaha sebisaku menjaga nilai-nilai luhur yang telah mengakar pada bangsa ini
dengan menjadi santri,
berusaha menjaga tradisi dan melaksanakan
hukum sejak usia dini.
“Run....” panggilan kawanku dengan berat suara,
mungkin karena dirinya yang lapar, yang sejak pagi hanya mengisi kehidupannya
dengan mengaji dan sedikit menghayati isi-isi yang terkandung dalam kalam
Ilahi, katanya ia membacanya untuk
bangsa ini, yang telah dilanda musibah. Ditengah menyambut kegembiraan Asian
Gemes yang telah usai beberapa bulan yang lalu, Lombok diguncang secara merata. Beberapa hari yang lalu sehari sebelum peringatan
G-30S/PKI, Palu-Donggala merasakan sebuah rasa yang sama, tangis menyebar ke
penjuru bangsa, entah apa mengapa masalah ini menimpa Bangsa?
“Yap...” tanggapanku kepadanya, sembari mengatakan
yang lain,
“Kok lemes belum makan ya?”
“Makan yuk ” ajakku.
“Aku terasa gak bisa menelan makanan, melihat bangsaku
yang porak-poranda. Tapi, meskipun demikian kenapa masih banyak orang-orang
yang mau mencuri keuangan negara? Inilah yang membuatku ingin memusnahkan
orang-orang baik tapi naif itu, ia sebenarnya adalah orang baik, tapi menjadi
naif karena beberapa hasutan orang-orang radikal yang menyebabkan otaknya
terkontaminasi dengan hal-hal yang jorok ” katanya, dari Buku sejarah.
“Tidak melihatkah
mata yang telah diberikan tuhan kepadanya, nikmat tuhan padahal sudah banyak
dan tak dapat terhitung, kata Pak Ibnu Bardy yang ia ambil dari Al-Qur’an kan begini,
” قل
لو كان البحر مددا لكلمات لنفد البحرقبل أن تنفد كلمات ربى ولوجئنا بمثله مددا”(4.
Itulah yang dinamakan manusia padahal nikmat yang diberikan tuhan sangat
banyak, belum mungkin kenikmatan sekecil biji sawi sudah disyukuri, malah
mencuri yang lebih besar tanpa ada rasa manusiawi ” tambahnya.
“Alah aku juga tahu, ayolah makan, sandainya kamu
tak makan dan nantinya menyebabkan keadaanmu semakin menderita terus siapa yang
akan mendo’aka mereka lagi?, setidaknya kita kan juga harus mengurusi kebutuhan
kita masing-masing, nanti bila sudah kelar tak apalah kita mengurusi keadaan
mereka, walau yang kita bisa adalah berdo’a ” kataku, merengek-rengek
kepadanya. Aku tak mau
teman dekatku terlalu larut dalam rasa derita, walau dirinya bukan asli warga
Palu-Donggala.
“Ayo... kalau gitu aku mau, mungkin bila kamu tak
meluruskan pemikiraku,
bisa dipastikan aku berlarut dalam sebuah rasa dan nantinya memungkinkan
menyalahkan pejabat, presiden atau malah menyalahkan Tuhan”
“ Ya Tuhan terima kasih atas pertolonganmu lewat
kawan baikku ini, aku dan kawanku berlindung kepadamu dari godaan setan asli
dan dari setan manusia” munajatnya mengakhiri perbincangan kami, dan bergerak
menuju kamar tuk mengisi perut.
“Aduh... sungguh bejat mereka, memotong rambutku
tanpa tersisa ” keluh temanku kepada Pak Pegurus. Suatu sikap yang menurutku
tak menunjukkan kepatuhan terhadap hukum pesantren,
mungkin sikap ini adalah yang telah mengawali segala permasalahan yang ada.
Suatu sikap muncul terus diumbar dan menyebar menuju pelosok negri. Padahal
kata Mustahiqku “Kita tidak boleh membangkang atas peraturan yang selama ini mengakar
pada bangsa, selama para pejabat bangsa tidak mengekang kita dan menyebabkan
kita sengsara.” Berarti dalam praktiknya, tatkala Pak Pengurus menderitakan
kami, kami boleh bertindak atas ketidakadlilan mereka, tapi harus dengan rasa
kemanusiaan, karena ia adalah juga manusia. Kata Gus Mus kan begini,
“tetaplah
jadi manusia, mengertilah manusia dan manusiakanlah manusia”
Dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara,
ketidakpuasan atas kesalahan pemerintah berarti boleh untuk diluapkan asalkan
ada bukti yang kongrit dan dengan rasa kemanusiaan. Tapi, ketika yang terjadi
adalah penganiayaan
terhadap manusia, maka kita boleh melawannya, karena mereka yang tidak memiliki
perasaan atas sesama manusia.
“Janganlah
mengeluh... kang,
bukankah kita telah diajari menerima segala sesuatu dengan ikhlas, yakinlah kang... suatu saat pasti akan tampak
hikmah diri pada masalah ini” kataku kepadanya.
“Tapi begini lho suami Nay, mereka terkadang tidak
mencerminkan bahwa mereka itu tidak pantas untuk sebagai contoh ” dalihnya.
“Berarti
begini, tidak semua dari mereka itu bersalah, mereka sebenarnya adalah
orang-orang yang baik. Tapi, atas pikiran-pikiran kotorlah, mereka ada yang
bertindak sesuka hati dan meluapkanya para santri, terkadang pula muncul
pikiran begini “Alah sudah pernah”, nah inilah yang menyebabkan mereka berlagak
seperti itu. Mungkin tak hanya Pak Pengurus yang memiliki penyakit seperti ini,
para pejabat pun mungkin ada, sehingga rakyat mengecap mereka sebagai pejabat
bangsat ” ocehku.
“Inilah kawan keistimewaan santri, dimana rasa
persatuan dan kebersamaan tetap ada dan mengakar setiap hati. Ketika ada kawan
yang terjerumus atas godaan nafsu, maka pasti akan ada yang mengingatkan atas yang menimpanya. Memang bila seluruh
sila dalam Pancasila dijalankan dengan khidmat
tanpa ada rasa terpaksa, maka tak akan tercipta rasa saling benci antara satu
dengan yang lainya, tak kan ada pula
rasa beda” kataku kepadanya. Meski pesantren hanya tempat mengaji bagi santri,
tapi pesantren memiliki kelebihan yang semestinya masyarakat luar setidaknya
meniru beberapa rasa yang sejak lama sudah telah menjadi pohon kehidupan di pesantren, rasa yang ada dalam Pancasila,
UUD 1945 dan UU yang lainya. Maka tugas santri tak lain adalah menularkan
segala sesuatu yang terlah didapatkanya kepada masyarakat penjuru Negeri.
Selesai.......
Komentar
Posting Komentar